tag:blogger.com,1999:blog-53165672602474562642024-02-19T05:51:24.766-08:00Ibuku ini Kata-katakuBlog Anak Negeri untuk Ibu Pertiwi.Unknownnoreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-76275841912288023562009-06-23T06:44:00.000-07:002009-06-23T09:27:07.987-07:00Dewa dari Leuwinanggung<div style="text-align: justify;">Oleh : <a href="http://andreasharsono.blogspot.com/2002/10/dewa-dari-leuwinanggung.html">Andreas Harsono</a><br /><br />Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?<br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYSbbOCVOmLKHJLXJLDK8UQwITwTH0CstSMU_n07DdGbDH7Tpazev9xTY7kyG5OKQplI57AfS-VwcDNpeTW301ZyaAiKdFGsuf3XR8GRma5q_NFv9h3fNLtOvIUe8_78wTA8QkLs15xMlW/s1600-h/gallery_fals.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 181px; height: 239px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYSbbOCVOmLKHJLXJLDK8UQwITwTH0CstSMU_n07DdGbDH7Tpazev9xTY7kyG5OKQplI57AfS-VwcDNpeTW301ZyaAiKdFGsuf3XR8GRma5q_NFv9h3fNLtOvIUe8_78wTA8QkLs15xMlW/s400/gallery_fals.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5350531585915509410" border="0" /></a><br /><span style="font-weight: bold;">LEUWINANGGUNG</span> adalah sebuah desa yang mirip kebanyakan dusun Pulau Jawa. Di sana ada rumah, sekolah, masjid, klinik, pohon dan bambu, madrasah ibtidaiyah, serta kantor lurah. Tetapi Leuwinanggung tak sama dengan desa-desa lain di Pulau Jawa karena di sana berumahlah seorang dewa .... namanya Iwan Fals.<br /><br />Dewa ini tinggal di sebuah rumah besar. Tanahnya 6.000 meter persegi. Bagian terbesar dipakai untuk sebuah toko, pendopo, sebuah panggung terbuka, maupun kantor organisasi para penggemar si dewa bernama Oi. Kediaman pribadi dewa ini dilengkapi studio musik, garasi mobil (termasuk bus), rumah tinggal, serta kebun dengan rumput tercukur rapi.<br /><br />Suatu sore September lalu, Iwan Fals menceritakan perkenalannya dengan Leuwinanggung pada saya. “Tahun 1982 saya cari tanah di sini, maksudnya untuk investasi saja,” katanya. Dia membeli tanah dari rezeki penjualan kaset Sarjana Muda yang diluncurkan 1981 dan terjual 300 ribu buah. Kisah berikutnya, dia sekali-sekali datang dari Jakarta bersama istrinya, mantan model Yos Rosana, menengok tanah mereka serta membawa pulang buah-buahan dari kebun.</div><div style="text-align: justify;" class="fullpost"><br /><br />Leuwinanggung menarik karena warganya rukun. Kalau ada acara perkawinan, jaipongan, atau kematian, semuanya kumpul. “Bila ada kematian, pengunjung yang datang justru dibayar. Diberi uang. Mereka bahkan sampai ngutang. Dalam hati saya pikir, ‘Gagah amat.’ Saya merasa kecil sekali. Kayak jawara gitu. Ada kegagahan di sini. Kalau mereka datang kenduri, duduk, pandangan ke depan, nggak ditegur ya diam saja. Kalau ada makan ya nggak rakus. Saya kan dulu nggak tahu. Ada makanan ya saya makan,” kata Iwan.<br /><br />Kalau sedang tak sibuk, Iwan ikut salawatan tiap malam Jumat. “Bahasanya campur Arab, Sunda, Jawa. Ada 20 nomor salawatan lama yang saya kumpulkan.” Salawatan untuk sebuah desa macam Leuwinanggung, yang tanahnya, kapling demi kapling dibeli orang Jakarta, dan anak-anak mudanya mulai kekurangan pekerjaan, bisa jadi kekuatan untuk desa ini. “Kekuatan secara batin, secara spiritual,” kata Iwan.<br /><br />Leuwinanggung sendiri terletak di daerah Bogor. Penduduk di sana sehari-hari bicara bahasa Sunda kasar. Orang butuh sekitar satu jam naik taksi dari Jakarta ke Leuwinanggung. Daerahnya terpencil. Selewat magrib, jalanan Leuwinanggung sepi dan jarang ada kendaraan. Ketika 16 Agustus lalu saya kemalaman di Leuwinanggung, lewat tengah malam saya jalan kaki empat kilometer untuk mendapatkan tukang ojek.<br /><br />Ketika itu sekitar 600 penggemar Fals dan penduduk Leuwinanggung merayakan Agustusan bersama. Di sanalah saya menemukan banyak iwan fals. Mereka bergaya ala Fals dengan rambut gondrong, jins belel, memberi salam dan berteriak “Oi.” Suaranya dibuat dalam, agak serak. Di panggung, lagu-lagu Fals dibawakan bergantian, dari yang mirip aransemen aslinya, sehingga mendapat tepuk tangan, sampai yang ditertawakan penonton—dapat tepuk tangan juga.<br /><br />Yang ditertawakan termasuk seorang pemuda 30-an tahun. Topinya merah, rambutnya gondrong sepundak, kulitnya gelap, giginya putih bersih, dan namanya Fajar Wijaya. Fajar seorang pengamen kelahiran Yogyakarta tapi lebih sering mengamen di Cilegon. “Saya terharu, menjerit, merasa ada panggilan hati. Dapat bimbingan dari lagunya itu,” katanya, mengacu lagu Di Mata Air Tak Ada Air Mata.<br /><br />“Saya merasa kok ada hikmah tersendiri buat hidup saya. Saya merantau. (Lagu) ini nasihat dalam perjalanan hidup saya. Saya merenungkan jati diri saya,” kata Fajar, tersenyum sembari menarik-narik baju luriknya yang lusuh.<br /><br />Iwan Fals memang bukan dewa dalam pengertian mitologi Yunani. Mungkin kedewaan Fals lebih dekat dengan fenomena musik 1960-an ketika dinding-dinding kota London dicorat-coret dengan kalimat, “Clapton is god (Clapton seorang dewa).” Mereka yang anonim itu memuja Eric Clapton, gitaris blues Yardbirds yang muncul di Inggris pada 1963. Majalah Rolling Stone menyebut Clapton menonjol karena konsisten menjaga standar mutu karyanya.<br /><br />Orang yang malam Agustusan itu tak kalah sibuknya dengan Fajar adalah Slamet Setyabudi, koordinator keamanan Oi, yang sehari-hari bekerja sebagai tentara dengan pangkat sersan dua dari Pasukan Pengawal Presiden. Slamet badannya tegap, orangnya ramah. Dia anggota Grup C, yang bertugas mengawal tamu-tamu negara. Dia pernah mengawal Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Timor Lorosa’e Xanana Gusmao. “Habis dinas saya ke sini,” katanya.<br /><br />Slamet sesekali membawa rekan-rekannya ke Leuwinanggung untuk bantu keamanan. “Tentara yang penggemar Mas Iwan ini sebenarnya banyak,” katanya. Saya sempat berpikir nakal. Negara Indonesia membayari ratusan tentara untuk mengawal presiden dan wakil presiden. Mereka menerima gaji, sering pergi ke luar negeri, menerima pelatihan, mendapat seragam keren. Tentara yang sama mengawal Iwan Fals dengan gratis!<br /><br />Malam itu lebih dari selusin pengurus Oi bercerita tentang Fals pada saya. Mereka cerita para penggemar yang terperangah ketika pertama kali menemui Fals. Banyak yang “gila” dengan memeluk, mencium tangan, dan menangisi Fals. Ada yang datang dari Flores, Riau, Jambi, dan sebagainya.<br /><br />Malam itu saya berharap melihat ritual tersebut. Ratusan penggemar berharap sang dewa muncul. Namun Iwan tetap tinggal di rumah. Dia “meriang, kecapekan” dan dicurigai kena tipus. Dewa ini ternyata manusia biasa yang bisa sakit.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">MALAM</span> itu juga ada Muhamad Ma’mun. Seorang lelaki yang menarik. Penampilannya kalem, rambutnya panjang, dan terkadang dipanggil “Romo.” Ma’mun dulu pernah kerja di perusahaan properti tapi sekarang wiraswasta, memborong pekerjaan bangunan rumah. Ma’mun termasuk kenalan dekat Iwan Fals. Dia mengenal keluarga Fals sejak 1985 ketika mulai mondok di sebuah rumah di Jalan Barkah, daerah Manggarai di pusat Jakarta. Rumah itu milik Lies Suudiyah, seorang pekerja sosial dan ibunda Iwan.<br /><br />Fals waktu itu sudah berkeluarga dan tinggal di Condet. “Panggilan rumahnya Tanto,” kata Ma’mun. Nama lengkapnya Virgiawan Listanto. “Galang masih kecil, belum sekolah, mungkin empat atau lima tahun. Cikal baru bisa jalan,” kata Ma’mun, mengacu pada anak Iwan: Galang Rambu Anarki dan Anisa Cikal Rambu Basae.<br /><br />Entah kenapa keduanya cocok. Ma’mun usianya tiga tahun lebih tua dari Iwan. Ma’mun kelahiran Solo 1958 sedang Iwan Jakarta 1961. Mungkin mereka punya karakter dasar yang sama. Keduanya orang yang tak ragu mempertanyakan apapun. Saya terkesan dengan kerendahan hati mereka. Ketika mondok, Ma’mun bekerja sebagai pegawai PT Pembangunan Jaya sementara Iwan sudah mulai dikenal sebagai penyanyi. Persahabatan mereka berlanjut hingga sekarang. Ma’mun termasuk orang yang diminta Iwan jadi pengurus Yayasan Orang Indonesia—yayasan sosial yang dibentuk dan diketuai Iwan sendiri.<br /><br />Pengalaman berkesan Ma’mun terjadi ketika mereka lagi membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang. “Wah, ini perlu disentil To,” kata Ma’mun.<br /><br />Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena. Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja. Hasilnya, lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album Wakil Rakyat (1987). Ma’mun bangga dengan karya bersama ini apalagi ketika mahasiswa menjadikan lagu itu “lagu wajib” demonstrasi. Hingga kini Ma’mun rutin mendapatkan kiriman uang royalti dari Musica—produser dan distributor sebagian besar album Fals.<br /><br />Ma’mun menilai temannya itu sebagai salah satu penyanyi kritik sosial terkemuka di Indonesia. Iwan menggunakan bahasa Indonesia, untuk bercerita tentang anak maling yang jadi maling, sunatan massal, pelacur, korupsi, nasib guru, dan sebagainya. Majalah Time Mei lalu menyebutnya “pahlawan Asia”—sejajar dengan Jackie Chan, Xanana Gusmao, dan Aung San Suu Kyi.<br /><br />Kalau artis lain menjaga penampilan mereka lewat make up menyala, potongan rambut aneh, kostum unik, atau operasi plastik untuk memperindah diri, Iwan Fals tampil biasa. Beberapa kali saya menyaksikan Iwan memakai kaos Shanghai, kaos katun tipis dan lembut, yang harganya Rp 10 ribu selembar, saat konser. Orang toh tetap histeris melihatnya. Iwan mungkin punya kharisma.<br /><br />Amir Husin Daulay, seorang aktivis mahasiswa 1980-an dari Yayasan Pijar, menyebut Fals “nabi buat para pengikutnya.” Pada 1983, Daulay mengundang Fals mengamen ke kampus Akademi Ilmu Statistik. Iwan datang bersama Yos, membawa gitar, menyanyikan empat lagu, dan mendapat honor Rp 400 ribu. Pengalaman mengamen, yang dilakukannya bertahun-tahun, melatih Iwan menghadapi massa, dari pentas ke pentas, sehingga tahu bagaimana mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur suara, mana yang disukai, mana yang tak disukai.<br /><br />Persahabatan Ma’mun dan Iwan meningkat seiring karier mereka berdua. Antara Sarjana Muda hingga album Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu pada 1989, Iwan menghasilkan 13 album bersama Musica. Artinya, hampir satu album tiap enam bulan. Ini luar biasa.<br /><br />Pada 1989 Iwan menerbitkan album Mata Dewa bersama Arena Indonesia Production (Airo). Mereka berniat mengadakan tur 100 kota. Konser perdana 26 Februari 1989 di Jakarta berjalan baik tapi buntutnya sebelas kendaraan bermotor dirusak. Mengapa kerusuhan terjadi? Sampai hari ini belum ada penjelasan rinci. Apa polisi kurang profesional? Atau Arena Indonesia Production kurang siap? Atau Fals mengeluarkan kalimat-kalimat yang memprovokasi massa?<br /><br />Tapi tur jalan terus ke Pulau Sumatra. Sore hari 9 Maret 1989, Ma’mun dan Iwan Fals berada di sebuah hotel di Palembang. Keesokannya, Iwan bakal tampil di konser Mata Dewa. Sehabis makan malam, Ma’mun dan Iwan masuk kamar. Di depan cermin, mereka bicara soal persiapan konser.<br /><br />“Gayane ngene yo? (Gayanya gini ya?)” tanya Iwan, sambil memegang gitar akustik.<br /><br />“Ojo ndingkluk. Rodo ndegek (Jangan menunduk. Agak membusung),” kata Ma’mun. Iwan pun mengubah gayanya memegang gitar.<br /><br />“Nek penyanyi rock ngene lho! (Kalau penyanyi rock begini lho!)” kata Ma’mun, mengambil gitar dan memberi contoh.<br /><br />Mereka diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi, Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.<br /><br />Ironisnya, polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?<br /><br />Lebih susah lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan Mata Dewa.<br /><br />“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.<br /><br />“Pihak ketiga” kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga” ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik sosial Fals.<br /><br />Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu. Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok. Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody, rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara dengan Djody?<br /><br />Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar. Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa. Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi. Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk. “Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian satu.”<br /><br />Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada 1986.<br /><br />“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul. Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.<br /><br />“Pada awalnya Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua sudah beristeri.<br /><br />Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus Barock.<br /><br />Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus. Ini cepet nyebarnya.”<br /><br />“Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.<br /><br />“Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”<br /><br />Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.<br /><br />Bento diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.<br /><br />namaku Bento, rumah real estate<br />mobilku banyak, harta melimpah<br />orang memanggilku bos eksekutif<br />tokoh papan atas, atas segalanya, asyik<br /><br />Sawung Jabo membantu aransemen lagu tersebut, “Saya memasukkan unsur tema lead accoustic,” katanya. Ketika beredar ke pasar, Swami memang ibarat virus. Lagu Bongkar juga jadi salah satu hit. Mula-mula media sempat bertanya-tanya apakah TVRI bersedia menyiarkan Swami. TVRI waktu itu satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI sepenuhnya dikuasai rezim Soeharto. Ternyata tanpa ada keistimewaan, Bongkar muncul pada 13 Maret 1990. Ini mengejutkan banyak wartawan musik. Sekali lagi teori “pihak ketiga” tidak laku.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">PADA</span> Maret 1990 rombongan Swami datang ke Salatiga: Sawung Jabo, Iwan Fals, Naniel, Nanoe, Inisisri, penyair W.S. Rendra, pengusaha Setiawan Djody, dan sebagainya. Salatiga sebuah kota kecil di tengah Pulau Jawa yang pada 1980-an secara politik cukup dinamis.<br /><br />Media banyak memperhatikan kedatangan mereka. Bagaimana tidak? Djody miliuner kapal tanker yang dekat dengan keluarga Soeharto. Rendra seorang penyair, mungkin yang terbaik di Indonesia, yang beberapa kali masuk tahanan Orde Baru. Jabo pemusik yang sering bikin eksperimen bermutu. Iwan sendiri dianggap makin memberontak sejak Palembang. Sebuah kolaborasi unik.<br /><br />Orang yang berperan mendatangkan Swami ke Salatiga adalah Endi Agus Riyono A.S. atau biasa disingkat Endi Aras—seorang mantan aktivis mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga dan wartawan majalah Film di Jakarta. Endi orangnya ramah, rambut bergelombang sebahu, murah senyum, pandai bergaul, suka musik, dan suka ikut kepanduan. Juli lalu ketika saya mewawancarai Endi, penampilannya tak banyak berubah, walau perutnya agak buncit, sudah berkeluarga, serta memiliki perusahaan sendiri Matamata Communications yang bergerak di bidang public relation dan event organizer.<br /><br />Endi bertemu Iwan pada 1985 ketika ia diutus rekan-rekannya menghubungi Iwan agar menyanyi dan ceramah di kampus Satya Wacana. “Aku disuruh cari ke Jakarta,” kata Endi. Mulanya Endi cari di Musica tapi tak ada dan ketemunya di Condet. Iwan keberatan datang ke Salatiga, “Aku nggak bisa ngomong,” kata Iwan.<br /><br />Iwan merekomendasikan penyanyi balada lain. Endi penasaran. Endi pengagum Fals dan punya koleksi lengkap album Fals. Endi pun menulis surat kepada Iwan dan dibalas pakai tulisan tangan. “Apa yang diomongin sama yang dipikir, lebih cepat yang dipikirin,” kata Endi, menerangkan keengganan Iwan tampil pada fora akademik.<br /><br />Kejadian itu membuka perkawanan Endi dan Iwan. Pada 1989 Endi bekerja di majalah Film. Sebagai wartawan ia menulis soal Iwan. Ini praktik biasa di kalangan wartawan musik Indonesia—menjalin pertemanan dengan sumber-sumber mereka. Endi dan Iwan sering telepon-teleponan. “Ndi kamu ke sini,” ujar Iwan. Bila Endi dolan ke tempat Iwan, mereka bisa mengobrol dari siang sampai malam. Mereka juga sering naik mobil, mengobrol, mengelilingi jalan tol. “Iwan itu senang kalau ada teman ngobrol,” kata Endi.<br /><br />Endi membawakan buku-buku untuk Iwan. Misalnya Catatan Harian Seorang Demonstran tentang Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an yang ikut mengatur demonstrasi anti-Presiden Soekarno, yang meninggal keracunan gas di Gunung Semeru pada 1969.<br /><br />Endi juga memberikan selebaran-selebaran gelap. Iwan tertarik karena ia simpati pada orang tertindas. Pada 1980-an ketidakpuasan warga Indonesia terhadap rezim Soeharto makin tinggi. Anak-anak Soeharto beranjak dewasa dan terlibat dalam bisnis, dari monopoli cengkeh hingga jalan tol. Militer juga makin kuat mengontrol kehidupan warga walau di sana-sini ada gesekan internal antara militer hijau (muslim) dan militer merah putih (nasionalis).<br /><br />Di Salatiga Endi sering menginap di kantor Yayasan Geni—sebuah organisasi nirlaba yang banyak terlibat gerakan protes. Satya Wacana 1980-an juga kampus yang memberikan tempat untuk pemikiran kritis, antara lain karena pengaruh dosen-dosen liberal macam Arief Budiman, seorang doktor lulusan Universitas Harvard, kakak kandung Soe Hok Gie, yang getol bicara Marxisme, negara, masyarakat, demokrasi, dan acapkali diwawancarai media. “Iwan ngefans sama Arief Budiman,” kata Endi.<br /><br />Budiman dekat dengan mahasiswa, antara lain dengan Stanley, panggilan seorang aktivis mahasiwa yang nama lengkapnya Yosep Adi Prasetyo. Stanley kawan dekat Endi. Budiman sering mengajak Stanley, Endi, dan mahasiswa lain ikut diskusi. Dari Stanley pula Endi menerima selebaran gelap dan buku. Endi menyampaikannya pada Fals.<br /><br />Ketika Swami mengeluarkan album, Endi menawari Swami pergi ke Salatiga. Pucuk dicinta ulam tiba. “Biaya dari Djody semua, panitia hanya ngurus tempat. Kita agendakan ngobrol-ngobrol di rumah Arief Budiman,” kata Endi.<br /><br />Mereka datang lebih awal dan mengadakan dua diskusi. Diskusi agak besaran diadakan di sebuah guest house milik Satya Wacana, sebuah rumah kolonial peninggalan Belanda, yang luas dan megah. Rumah itu dipakai Djody dan peragawati Regina Sandi Harun, istri muda Djody. Diskusi agak kecil diadakan di rumah Budiman sembari makan malam. Rumah ini terletak dekat sungai, dibangun dengan konsep terbuka, menggunakan bambu, dan dijaga beberapa ekor angsa. Budiman mengundang cendekiawan setempat, antara lain pendeta Broto Semedi, Stanley, dan beberapa mahasiswa lain untuk diskusi dengan rombongan Jakarta. Saya kebetulan ikut diundang.<br /><br />Kami bicara santai, bersila, duduk dengan tikar. Arief Budiman memancing Iwan Fals untuk masuk ke dunia aktivis. “Seniman harus tahu politik,” katanya. Budiman cerita soal Victor Jara dari Chile, pendukung Presiden Salvador Allende, yang terbunuh ketika Jenderal Augusto Pinochet mengudeta pemerintahan sosialis Allende pada 1973. Budiman mengerti Chile dengan baik karena tesisnya di Universitas Harvard tentang kegagalan Allende memakai sosialisme. Victor Jara seorang pemusik popular mirip Fals. Lagu-lagu Jara penuh kritik sosial. Jara juga main gitar akustik. Jara mati bersama dengan Allende.<br /><br />Saya punya kesan Iwan enggan atau malu menanggapi Budiman. Iwan lebih banyak diam. W.S. Rendra, teman lama Budiman, lebih banyak bicara dengan gayanya yang teatrikal. Rendra khusus memperkenalkan kami kepada Djody yang disebutnya sebagai seorang pengusaha-cum-seniman. Rendra mendominasi pembicaraan malam itu dengan sekali-sekali ditanggapi Djody, dan Sawung Jabo. Leila Ch. Budiman, istri Arief, jatuh hati pada Iwan yang disebutnya “anak manis.”<br /><br />Salah satu isu sampingan yang mereka diskusikan adalah kejengkelan Rendra dan kawan-kawan terhadap industri rokok. Mereka jengkel pada industri ini—yang sering jadi sponsor utama konser-konser musik—karena seenaknya menempelkan pesan sponsor di panggung. Logo rokok dipasang di pusat panggung. Mereka memaki-maki industri rokok karena mengganggu estetika. Mereka mengatakan sulit untuk tak menerima sponsor rokok karena kontribusi mereka besar tapi jangan begitu caranya.<br /><br />Ironisnya, mereka kurang tertarik mendiskusikan dampak rokok pada anak-anak muda penggemar mereka. Mungkin karena mereka sendiri perokok berat. Iwan juga perokok. Suratkabar-suratkabar setempat memberitakan protes ini. Diam-diam beberapa mahasiswa melihat para tamu Jakarta ini, bukan saja mengisap rokok, tapi juga ganja.<br /><br />Saya tak mau menghakimi. Beberapa teman saya juga menggunakan ganja dan biasa-biasa saja. Saya kira isu ganja bukan soal benar atau salah. Ganja mirip dengan rokok. Ia tak mematikan. Ganja berbeda dengan obat-obatan kimiawi macam narkotik, esctasy, atau putauw yang bisa berakibat fatal kalau kelebihan.<br /><br />Iwan mengakui memakai ganja sejak Palembang. “Habis gimana? Murah, bisa beli di mana-mana, enak?” Jabo tak mau berkomentar soal ganja. Dalam lingkungan Swami, mengisap ganja mendapat semacam legitimasi karena dianggap biasa. Djody dan Rendra juga saya lihat mencoba daun ganja yang dilinting kecil.<br /><br />“Tadinya mau kayak (penyanyi reggae) Bob Marley, punya kebun ganja sendiri. Nyanyi, ganja, nyanyi, ganja. Tapi kan dilarang hukum, (dilarang) agama. Dalam hidup ini, orang yang nggak mabuk lebih banyak dari yang mabuk,” kata Iwan.<br /><br />Kresnowati, seorang mahasiswa Satya Wacana dan kenalan Endi, ikut jadi panitia. Wati tak melihat ganja tapi terkejut menyaksikan awak Swami, termasuk Iwan, menggoda dan menjahili mahasiswi. “Ya … kok gini?” pikirnya.<br /><br />Wati menghibur diri dengan berpendapat Iwan laki-laki biasa. “Manusia biasa yang punya talenta luar biasa.”<br /><br />Menurut kawan-kawannya, periode ini cukup liar untuk Iwan Fals. Yos Rosana memutuskan pakai jilbab. “Dia bilang panggilan sebagai seorang muslim. Dia ingin memberikan contoh pada Iwan dan anak-anak untuk lebih ingat agama,” kata Fidiana, istri pemain kibor Iwang Noorsaid, pasangan yang berteman dengan keluarga Iwan. Yos juga agak khawatir pada pengaruh W.S. Rendra, orang yang dianggap guru oleh Iwan, tapi punya reputasi agak longgar dalam urusan perempuan. Rendra menikah tiga kali. Djody juga baru menikahi Sandi Harun. “Iwan kan good looking!” kata Wati.<br /><br />Malam yang dinanti-nantikan pun datang. Swami main di Lapangan Pancasila Salatiga. Malam itu saya ikut menonton dan ikut bernyanyi, “Bento, bento, bento.” Saya merasakan adanya semangat perlawanan di sana dan bersyukur Indonesia punya musisi macam mereka. Endi mungkin warga Salatiga yang paling bahagia malam itu.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">SAMBUTAN</span> hangat membuat Swami plus Setiawan Djody tertarik maju lagi. Mereka mendirikan kelompok baru dengan nama Kantata Takwa. Perbedaan personalia Swami dan Kantata Takwa terletak pada W.S. Rendra dan Djody.<br /><br />Djody jadi bos sekaligus pemain. Rendra memakai syair-syairnya, termasuk puisi "Kesaksian" yang terkenal itu, untuk dilagukan Kantata Takwa. “Rendra tidak sekadar membuat lirik, tapi lebih dari itu. Kadang dia sebagai alat kontrol pada proses kreatif kami. Rendra pulalah yang memberikan judul ‘Kantata Takwa.’ Rendra ikut memberi warna dan bentuk yang jelas pada Kantata Takwa. Terutama pada saat pementasannya,” kata Sawung Jabo.<br /><br />Djody mengeluarkan uang tapi agak tersinggung kalau dianggap keberadaannya semata-mata karena duit. Pada 1990, Djody pernah mempersilakan saya datang ke rumahnya di daerah Kebagusan, Jakarta Timur, melihat latihan Kantata Takwa. Djody cerita masa lalunya di Solo ketika jadi gitaris sebuah kelompok musik rock. Orangnya flamboyan, rambutnya tersisir rapi, kulitnya bersih, pakaiannya bagus. Rumahnya besar sekali. Besar sekali. Ruang keluarga, yang menghadap kolam renang, diubah jadi tempat latihan band. Di sana ada lukisan Djody besar sekali. Saya menduga karya maestro Basuki Abdullah.<br /><br />Djody cerita bisnisnya dengan Sigit Harjojudanto, putra sulung Soeharto, maupun Eka Widjaja dari kelompok Sinar Mas. Dia juga cerita pergaulannya dengan Jenderal Benny Moerdani, mungkin orang terkuat kedua di Indonesia sesudah Presiden Soeharto waktu itu. Moerdani dinilainya pintar dan tahu seni. Tak ada rasa takut dalam cerita Djody. Dia cerita isu yang agak pribadi tentang Moerdani. Bisnis adalah bisnis. Seni adalah seni. Djody mencintai keduanya.<br /><br />Namun tak semua orang suka dengan kolaborasi ini. Beberapa penggemar Fals dan wartawan musik menilai periode ini keiwanfalsan Iwan menurun. Ada yang menilai Iwan lebih vulgar. Teori “pihak ketiga” lagi-lagi dipakai. Ada yang menyalahkan Sawung Jabo. Dulu lirik Iwan lebih puitis. “Setelah gabung dengan Jabo lebih keras, Jabo kan suka main hantam?” kata fotografer Idon Haryana, menirukan analisis wartawan tabloid Detak A.S. Laksana. Banyak juga yang curiga pada W.S. Rendra. Lebih banyak lagi yang curiga pada Djody.<br /><br />Muhamad Ma’mun mengatakan, “Secara eksplisit saya sampaikan, ‘Saya nggak suka sama Mas Djody.’ Saya sampaikan pada Iwan. Sampai beberapa tahun, saya masih ngomong nggak suka. Saya nggak pernah sekali pun ketemu Djody. Diajak ketemu Djody tapi nggak mau.”<br /><br />Menurut Sawung Jabo, kalau Djody diragukan integritasnya, Iwan pun tak mau membela atau menjelaskan, karena dia sendiri “tidak tahu.” “Intinya kami bersama telah berbuat sesuatu, silahkan masyarakat menilainya sendiri. Apakah yang kita kerjakan bersama itu ada gunanya atau tidak?”<br /><br />Ma’mun menganggap musik Kantata Takwa, yang memakai koor, synthesizer, dan kecanggihan lain, tak cocok untuk Iwan. “Ini bukan kemajuan. Yang dikenal orang di gang-gang, di pasar-pasar, ya lagu-lagu yang dulu. Karya besar nggak harus yang susah dibawakannya.”<br /><br />Ma’mun mengacu pada lagu-lagu Koes Plus dan The Beatles. Dia menyebut lagu Imagine karya John Lennon. Aransemennya sederhana tapi nilainya tinggi. Ma’mun berpendapat karya-karya abadi aransemennya sederhana dan mudah dimainkan orang.<br /><br />Rekaman album Kantata Takwa jalan lancar. Menurut Jabo, Rendra terlibat mulai dari gagasan awal. “Saya baru terlibat masuk di pertengahan proses pembuatan materi lagu, sebelum dimulainya proses rekaman di Gin Studio.” Lagu andalan mereka berjudul Kantata Takwa yang dibuka dengan dzikir. Albumnya diedarkan awal 1990. Sampulnya bergambar Djody, Rendra, Iwan, Jabo, dan Jockie Suryoprayogo. Ada satu kalimat berbunyi, “Setiawan Djody mempersembahkan Kantata Takwa.” Ini menimbulkan kesan album ini “hanya” persembahan Djody—bukan Rendra, bukan Iwan, bukan Jabo, bukan Suryoprayogo. Saya kira pilihan ini kurang bijak.<br /><br />Pertunjukan Kantata Takwa di stadiun Senayan pada 23 Juni 1990 termasuk salah satu konser musik terbesar yang pernah diadakan di Jakarta. Media memberi perkiraan yang berbeda-beda. Ada yang memperkirakan penontonnya 100 ribu orang tapi ada juga yang 150 ribu. Sulit untuk tahu mana yang lebih akurat karena metode perhitungannya tak jelas. Kapasitas stadiun Senayan sendiri sekitar 90 ribu.<br /><br />Tapi berapa pun jumlahnya, penontonnya memang banyak sekali. Mereka memakai lampu laser, bom asap, sound system raksasa, panggung spektakular. Atmakusumah Astraatmadja, mantan redaktur pelaksana harian Indonesia Raya dan kini ketua Dewan Pers, termasuk salah satu penonton. Putra sulungnya seorang pemanjat tebing, yang ikut dalam tim yang bertugas menyelamatkan pemain Kantata Takwa bila terjadi kerusuhan. Mereka memasang tali-temali dan bisa meluncur ke tengah panggung bila ada keributan.<br /><br />Astraatmadja gelisah melihat massa sebanyak itu. Lelaki tua, yang mendampingi empat remaja ini, masuk ke Senayan dengan bantuan polisi. “Itu sebuah perlawanan kultural, bukan saja oleh Iwan dan kawan-kawan, tapi juga para penonton,” kata Astraatmadja. Dia menilai perlu keberanian luar biasa untuk menyanyikan Bento.<br /><br />Setiawan Djody, si pengusaha kapal tanker, tampil main gitar listrik, seraya memekik-mekik. “Saya heran kok berani-beraninya Setiawan Djody itu,” kata Astraatmadja.<br /><br />Endi Aras mengatakan Djody membiayai semuanya Rp 1 miliar lebih. Ma’mun menanggapinya dengan lebih hati-hati. Iwan dianggap bergaul dengan orang-orang yang terlalu liberal untuk ukuran keluarganya. Selesai Kantata Takwa, Iwan melanjutkan Swami II yang beredar 1991. Album ini kurang sukses. Sambutan jauh lebih kecil dari Swami. “Saya sudah bilang pada Iwan, ‘Jangan kamu ulangi lagi,’” kata Ma’mun.<br /><br />Endi Aras mulai masuk lingkaran kecil Iwan Fals pada 1994 ketika ia diminta jadi manajer Iwan. Tanggung jawab Endi serabutan dan dasarnya pertemanan. Kalau ada permintaan konser, Endi yang berhubungan dengan panitia, mengurus pembayaran, menyewa alat, dan sebagainya. Honor Iwan sekali pertunjukan Rp 6 juta. Endi tak menerima bayaran rutin. Kalau ada pekerjaan dia diberi “uang transport.”<br /><br />Endi juga jadi manajer produksi album Hijau. Di sini Iwan memakai dua pemain kibor: Iwang Noorsaid dan Bagoes A.A. Mereka banyak diskusi agar album ini secara artistik bagus. Lagu-lagu tak diberi judul. Hanya Lagu 1, Lagu 2, Lagu 3, Lagu 4. Endi dan pemusik lain kurang setuju tapi semuanya kalah argumentasi dengan Iwan. “Biar agak lain saja,” kata Iwan.<br /><br />Endi tambah stres karena produser Handoko dari Harpa Record dan Adi Nugroho dari Prosound bersaing membeli master album Hijau. Mereka tawar-menawar. Endi lapor ke Iwan soal tawar-menawar ini. Iwan malah tersinggung albumnya ditawar-tawar. “Wah Ndi, masternya dibakar saja,” kata Iwan. Gantian Endi yang jengkel karena merasa kurang dihargai. Endi dua hari sekali menemui Iwan, yang sudah pindah ke Cipanas, dua jam naik mobil dari Jakarta. Mereka akhirnya menerima harga Prosound Rp 365 juta termasuk sampul dan video clip. Endi mendapat Rp 10 juta dari anggaran Rp 65 juta untuk biaya produksi.<br /><br />Sampul kaset dibikin disainer Dick Doang dominan hijau dengan menggunakan foto beberapa anak kecil bermain lompat-lompatan. Iwan tak mau namanya ditonjolkan. Dia tak mau sampul ada fotonya. Menurut Endi, Iwan berpendapat status mereka sama, delapan orang pemusik. Iwan mau nama Iwang Noorsaid, Bagoes A.A., Cok Rampal, Jalu, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Jerry Soedianto, dan Iwan Fals dicetak semuanya pada sampul. Dick Doang, juga seorang penggemar Iwan, setuju usul itu. Konsekuensinya, nama-nama musisi dicetak dengan font kecil. Endi kurang setuju dan khawatir kasetnya kurang laku.<br /><br />Saya tanya pada Endi, kalau Iwan mau setara, bagaimana pembagian honornya? Endi tersenyum dan bilang Iwan “curang” karena honor musisi Rp 300 juta dibagi dua: 40 persen Iwan dan 60 persen tujuh musisi sisanya. Artinya, Iwan dapat Rp 120 juta sedang lainnya rata-rata dapat Rp 25 juta.<br /><br />Selama mengerjakan Hijau, Iwan berhenti mengganja, berhenti merokok, dan mulai salat. Hari-hari di Cipanas dipakai untuk “rehabilitasi.” Iwan tahu membuatnya tak bisa “panjang nyanyiannya.” Tubuhnya bentol-bentol, emosinya labil. Endi mengatakan ini periode “komunitas bersih” karena beberapa pemain, termasuk Noorsaid dan Heiri Buchaeri, rajin salat dan hidupnya sederhana. Kresnowati mengatakan ada juga musisi Hijau yang “pemakai berat ganja.”<br /><br />Perubahan Iwan juga mengubah Karno, asistennya yang setia, yang biasa membantu Iwan untuk urusan pribadi, mulai mengatur instrumen musik hingga menyiapkan lintingan ganja. “Karno lebih seniman dari Iwan. Dia nggak menikah, mungkin karena nggak dapat-dapat, dan penggemar Iwan,” kata Wati.<br /><br />Hijau diluncurkan 1992. Tak terlalu meledak di pasar. Endi kecewa, merasa kurang dihargai. Endi mundur dari pekerjaannya. “Endi punya kekaguman yang sangat pada Iwan. Tapi juga kekecewaan. Ngatur dia itu ruwet,” kata Kresnowati.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">KETIKA</span> Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang perasaannya campur-aduk karena pertama kali merasakan diri jadi ayah—merasa harus bertanggung jawab, merasa mencintai, heran, bahagia, bangga punya keturunan dan sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang Rambu Anarki. Lagunya cukup terkenal dan masuk album Opini (1982).<br /><br />Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.<br /><br />Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!<br /><br />Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”<br /><br />“Terus maunya apa?”<br /><br />“Embuh, main musik atau buka bengkel.”<br /><br />Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.<br /><br />Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.<br /><br />Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”<br /><br />“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.<br /><br />Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.<br /><br />Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.<br /><br />Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.<br /><br />“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.<br /><br />Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.<br /><br />Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.<br /><br />Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.<br /><br />Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.<br /><br />Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.<br /><br />Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.<br /><br />Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ... Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.<br /><br />Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.<br /><br />“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.<br /><br />Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.<br /><br />Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”<br /><br />Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.<br /><br />Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.<br /><br />Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.<br /><br />Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”<br /><br />Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.<br /><br />Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.<br /><br />September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.<br /><br />Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”<br /><br />Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”<br /><br />“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”<br /><br />Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.<br /><br />“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, "Hoooooooaaaaah ...."<br /><br />Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa lagi.”<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">ROLLY</span> Muarif termasuk satu dari sekian orang yang sering menemani Iwan Fals pasca-kematian Galang. Rolly adalah seorang musikus kelahiran Gorontalo, pernah menghibur penumpang kapal Kambuna jurusan Manado-Jakarta. Kalau menganggur, Rolly menjaga toko spare part di Kranggan, dekat Leuwinanggung.<br /><br />Iwan sering mengundang Rolly ke Leuwinanggung. Iwan suka melukis dan mengobrol dekat makam Galang. “Sering curhat sama saya soal Galang karena cuma ada saya doang,” kata Rolly. Dia juga menemani Iwan main catur dan mengobrol hingga subuh. Suatu saat Iwan bilang, “Kalau untuk anak (kehilangan) ke orang tua, bisa dimaklumi, tapi kalau orang tua ke anak, itu berat.”<br /><br />“Saya memahami saja,” kata Rolly pada saya.<br /><br />Iwan banyak melukis, kadang-kadang di rumah Leuwinanggung, lukisannya dipajang, dilihat dari jauh. Rekaman album baru ditunda sejak kematian Galang. “Saya disuruh memandang, kadang dibalik,” kata Harun Zakaria, tetangga Iwan, yang juga sering mengobrol pasca-kematian Galang. Iwan juga memenuhi undangan dari masyarakat Leuwinanggung, acara jaipongan, kematian, pengajian, kenduri, perkawinan, salawatan. “Ke mana-mana ajak saya,” kata Harun.<br /><br />Iwan juga bermain sepak bola dan membayar seorang pelatih untuk melatih anak-anak Leuwinanggung. Harun cerita Iwan menyumbang renovasi mushola dekat rumah mereka, “Karpetnya disumbang Kak Iwan.” Iwan juga melatih karate. Dia membuka dojo dan pesertanya sampai 200 orang. “Saya latih sendiri,” katanya.<br /><br />Ketika krisis moneter menghantam ekonomi Indonesia, Iwan Fals sempat mencoba bikin lagu untuk menggugah semangat orang berusaha. Karya ini terhenti ketika demonstrasi-demonstrasi anti-Soeharto makin keras. Pada Mei 1998, Soeharto mundur dari kekuasaannya dan Indonesia memasuki era demokratisasi. Perubahan besar-besaran di ambang pintu. Iwan pun melihat saatnya ia mengambil langkah baru.<br /><br />Iwan Fals melihat banyak penggemarnya kurang punya dasar ekonomi yang kuat. Iwan ingin “memberdayakan” mereka. Iwan pun mendirikan Yayasan Orang Indonesia dan minta Ma’mun jadi wakil ketua, Endi sekretaris, Yos bendahara, dan dia sendiri ketua.<br /><br />Ini ternyata tak cukup. Iwan ingin melibatkan para penggemarnya langsung. Ide ini dibicarakan dengan Ma’mun, Yos, dan Endi. Hasilnya, mereka sepakat mengundang para penggemar Fals, lewat ke Leuwinanggung selama tiga hari pada pertengahan Agustus 1999.<br /><br />Kresnowati diminta mengorganisasikan pertemuan itu. Lapangan belakang rumah Iwan ditutup pasir, dibangun tenda besar 600 meter persegi untuk tidur, dibelikan nasi bungkus, dan dicarikan sponsor perusahaan air mineral. Iwan minta tukang membangun 20 kamar mandi.<br /><br />Ternyata sambutannya besar. Penggemar Iwan dari banyak golongan datang. Ada pencuri, ada bandar narkotik, karyawan biasa, bapak yang sepuh, perempuan tomboy, juga wanita berjilbab. Ada juga yang penampilannya “punk rock abis” dan bikin Wati deg-degan. “Di luar pagar juga banyak yang menunggu mau masuk. Maunya ketemu Iwan, berfoto bersama,” kata Wati.<br /><br />Ketika diskusi, kualitas mereka kelihatan beragam. Ada yang berapi-api tapi banyak yang asal omong. Antusiasme ini mengejutkan karena Iwan lama tak muncul ke publik. Album terakhirnya keluar 1993.<br /><br />Wati juga geli melihat tato pada penggemar Fals. Banyak yang punggungnya digambari Iwan. Ada pula tato jidat, daerah antara alis mata, ditato kata “Fals.” Dari Bandung sekelompok penggemar menato kata “Fals” di antara jempol dan jari telunjuk. “Kalau Fals pasti Iwan Fals. Kalau Iwan kan banyak,” kata Ainun Rofiq, manajer restoran cepat saji McDonald yang jadi bendahara Oi.<br /><br />Semalam sebelum pertemuan, Iwan, Yos, Ma’mun, Endi, dan Wati diskusi. Intinya, mereka mau serahkan kepengurusan Oi kepada orang-orang baru itu atau mereka pegang sendiri? Mereka sepakat dipegang sendiri dulu. Kalau sudah jalan diserahkan pada orang banyak.<br /><br />“Saya nggak mau kalau ketua. Konsekuensinya berat. Endi juga nggak mau. Sampai pulang nggak jelas. Ma’mun nggak mau juga. Ma’mun ingin Iwan jadi ketua. Endi nggak mau (alasannya) ini khan fans club. Endi keukeuh (harus) Wati,” kata Kresnowati.<br /><br />Keesokan hari Kresnowati terpilih sebagai ketua Oi. Menurut Digo Zulkifli, penggemar asal Bandung, pada pertemuan tiga hari itu mereka diskusi: mau jadi fans club atau organisasi massa. “Kalau jadi fans club, idolanya sendiri, si bosnya (Iwan Fals) nggak enak.” Mereka memutuskan jadi organisasi massa.<br /><br />Wati pada tahun pertama lebih meletakkan dasar administrasi. Mereka bikin kartu anggota, membuka cabang, dan membuat arsip. “Nggak mudah mengatur 10.000-an orang di seluruh Indonesia.” Kini Oi diketuai Heri Yunarsa, seorang pegawai negeri dari Serang.<br /><br />Hambatan banyak. Wati melihat orientasi penggemar Fals masih kabur antara organisasi massa dan klub. Banyak yang masuk Oi untuk “cium tangan” Iwan. “Kayak ketemu raja … apalagi daerah lho ... kita jadi bingung ngeliatnya,” kata Wati. Masalah dana juga hambatan. Iwan mungkin orang kaya tapi mendanai organisasi butuh uang besar sekali.<br /><br />Entah apa yang akan terjadi kalau Iwan suatu saat jadi kurang populer atau makin mengendurkan musiknya? Bagaimana bila Iwan meninggal? Sejauh mana Oi bisa bertahan kalau didasarkan ikatan emosional pada lagu-lagu lama Iwan Fals? Bagaimana mengubah loyalitas individu jadi loyalitas organisasi? Bagaimana Oi bisa “memberdayakan” anggotanya?<br /><br />Saya ingat Elvis Presley, bintang musik pop Amerika 1960-an, yang mengatakan, “Music is like religion: when you experience them both, it should move you.” Menurut Sun Record, album Presley terjual lebih dari satu milyar selama masa hidupnya (Love Me Tender, It’s Now Or Never atau Are You Lonesome Tonight).<br /><br />Musik Fals juga menggerakkan banyak orang di Indonesia. Fals dianggap mampu merekam semangat perlawanan orang-orang yang dipinggirkan pada masa Orde Baru. Ketika Presley meninggal, lagu-lagunya malah jadi abadi. Makam dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Lagu-lagunya terus direkam ulang dan jadi tambang emas untuk ahli warisnya. Akankah Fals mengikuti jejak Presley? Apakah musik Fals sudah mirip pengalaman beragama?<br /><br />Iwan sudah pernah memikirkan ini. “Ada saya atau tak ada saya, saya hadir di Oi,” kata Digo Zulkifli menirukan Fals.<br /><br />Oi kini punya perwakilan di berbagai kota Indonesia. Ini organisasi unik tanpa preseden. Kantor-kantor perwakilannya juga unik. Di Cilegon ia nongkrong di kantor pemerintahan kabupaten. Di Tangerang berkantor di tukang jagal. Banyak juga yang berada di gang-gang sempit. Agus Suprapto dari Oi Yogyakarta mengatakan mereka mendapat bantuan dari Sultan Hamengku Buwono X.<br /><br />Gema Fals juga tembus hingga Timor Lorosa’e. Hugo Fernandes, redaktur majalah Talitakum, memberitahu saya bahwa panitia kemerdekaan Timor Lorosa’e mengundang Iwan Fals ke Dili ketika negara itu hendak menyatakan merdeka 20 Mei lalu. “Semua orang Dili tunggu Iwan Fals mau datang. Orang kecewa karena Iwan tidak datang. Di Dili, dia itu kayak dewa.”<br /><br />Tampaknya negara kecil yang punya luka tersendiri karena pendudukan Indonesia ini—sering dikatakan sepertiga penduduknya mati karena terbunuh atau kelaparan akibat 22 tahun pendudukan tentara Indonesia—punya banyak orang yang justru merasa ketertindasan mereka diwakili dan disuarakan Iwan Fals.<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">SESUDAH</span> lama tak berkarya, Iwan Fals mengalami hambatan bikin album baru. Effendy Widjaja, salah seorang direktur Musica, membantu Fals mengatasinya. “A Pen yang mendobrak. Saya harus bikin lagu katanya. ‘Jangan loyo dong!’ Dia mrepet (mengomel),” kata Iwan.<br /><br />“Akhirnya saya bangkit, minjam duit. Dia pilih dari 300 lagu, dia tandai. Dia pandai, pilihannya saya lihat masih dalam bingkai saya.”<br /><br />A Pen, nama panggilan Effendy, berunding dengan kakaknya, Sendjaja Widjaja atau A Ciu, presiden direktur Musica, dan Iwan pun diberi pinjaman uang. Mereka tak menyebut berapa pinjamannya. Musica hanya bersedia menjawab pertanyaan saya secara tertulis.<br /><br />Saya memperkirakan pinjaman ini diperlukan Iwan dan Yos, selaku pemimpin Manajemen Iwan Fals, untuk membiayai “jadwal-jadwal” pemakaian studio untuk latihan, rekaman, dan sebagainya. Kalau biaya sewa studio dihitung Rp 500 ribu sekali pakai, Iwan mengatakan pada saya, ia memakai 720 kali jadwal untuk membuat album yang dinamai Suara Hati. Artinya, Iwan membutuhkan sekitar Rp 360 juta untuk membiayai jadwal rekamannya. Manajemen Iwan Fals memakai pinjaman Musica itu untuk membangun sebuah studio. Iwan lantas menyewa studio itu kepada Manajemen Iwan Fals. Agak rumit memang. Iwan berhitung bisnis dengan istrinya sendiri.<br /><br />Bagaimana membayar Musica? Iwan menerangkan bahwa royalti sebuah kaset Rp 2.000. Kalau Suara Hati laku, katakanlah 150 ribu, berarti ia mendapat Rp 300 juta. Royalti ini dipakai membayar piutang Musica. “Dari segi ekonomi saya rugi. Saya nggak dapat apa-apa dari Musica. Saya hanya mengharapkan dari royalti ... kaset itu seumur hidup ya,” katanya.<br /><br />Iwan memanfaatkan teman-teman lama—Inisisri, Nanoe, Iwang Noorsaid, dan Maman Piul (pemain biola)—untuk mengerjakan Suara Hati. Kesulitan terbesar muncul dari komputer. Iwan menggunakan komputer mutakhir Apple Macintosh G4 dalam studio barunya. “Saya nggak pakai operator karena nggak bisa bayar,” kata Iwan. “Saya juga mau belajar komputer.” Iwan tak memahami kerja Macintosh dengan rapi. Dampaknya, ada rekaman-rekaman yang hilang.<br /><br />Khusus memilih pemain gitar prosesnya berbeda. Suatu hari Endi Aras mengajak Digo Zulkifli, gitaris asal Bandung yang juga penggemar Fals, berkunjung ke Leuwinanggung. Digo membantu Endi di Matamata Communications sesudah kenal saat pembentukan Oi. Hari itu Digo menemui Iwan di studio. Kebetulan Iwan lagi butuh orang mengisi gitar listrik. Di studio, menurut Digo, ia ditanya Iwan, “Digo kamu main elektrik?”<br /><br />“Ya”<br /><br />“Coba deh ini di album baru.”<br /><br />“Saya minta waktu dan ruangnya saja,” kata Digo.<br /><br />Iwan mempersilakan tapi mengingatkan Digo bahwa proposal Digo belum tentu diterima. Digo bersedia. Digo menduga Manajemen Iwan Fals masih mempertimbangkan gitaris kawakan Ian Antono, I Gede Dewa Bujana, dan Totok Tewel untuk mengisi gitar. Ketiga gitaris itu kenal Iwan. Ian Antono juga menata musik album Mata Dewa. Pilihan ternyata jatuh pada Digo Zulkifli.<br /><br />Digo pun ikut rekaman bersama Inisisri, Nanoe, Noorsaid, dan Iwan. Ketika rekaman rusak, Iwan merasa sungkan minta kembali Nanoe, Noorsaid, dan Inisisri. “Nggak enak,” katanya. Digo dengan mudah dimintanya ikut rekaman ulang. Iwan pun membentuk band baru untuk mengisi sebagian rekaman yang hilang. Iwan mengajak Edi Edot (bass), Ayub Suparman (kibor), dan Danny Kurniawan (drum).<br /><br />Belakangan ternyata ada rekaman lama yang ditemukan lagi. Dalam album Suara Hati, lagu Hadapi Saja muncul dua kali. Dua lagu, dua band, satu penyanyi, satu album. Kontribusi Noorsaid ada pada lima dari 12 lagu di sana.<br /><br />Endi Aras melihat adanya dua band ini dengan kritis. “Iwan gampang meninggalkan kawan-kawannya. Grup yang sekarang ini dari penggemar dia semua. Itu dari Oi semua,” kata Endi, seakan-akan hendak mengatakan Fals sekarang dikelilingi orang yang relatif kurang setara kemampuannya dengan Iwan. Tak ada lagi Sawung Jabo, Inisisri, Ian Antono atau Jalu, Cok Rampal, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Iwang Noorsaid. Nanoe bahkan meninggal ketika Suara Hati belum sempat diluncurkan.<br /><br />Padahal tantangan Iwan makin besar. Naik ke puncak tangga sangat sulit tapi mempertahankannya lebih sulit lagi. Umur juga bertambah. Iwan juga harus mengikuti selera penggemar yang lebih muda. “Kalau Iwan mau panjang, orang-orangnya harus profesional. Posisi manajer di situ bisa lemah karena istri sendiri. Iwan nggak bisa di-manage karena egonya sangat besar. Yos bingung juga,” kata Endi.<br /><br />Suara Hati diluncurkan awal tahun ini. Tempo menyebut album ini lagu-lagunya bagus tapi aransemennya lemah. Hai memuji setinggi langit. Sambutan publik cukup baik. Keberadaan Oi tampaknya membantu pemasaran kaset Fals. Anggota-anggota Oi adalah penggemar fanatik Iwan. Manajemen Iwan Fals menyambung peluncuran album itu dengan konser Satu Hati Satu Rasa sekitar 40 kota, antara Maret hingga Agustus lalu.<br /><br />Suasana Indonesia berbeda sekali antara konser Satu Hati Satu Rasa dan Mata Dewa. Pada 1989 hambatan Mata Dewa terletak pada polisi. Konsernya dilarang di Palembang. Kini demokratisasi mulai terasa di berbagai institusi negara, termasuk polisi, sehingga tur Satu Hati Satu Rasa tahun ini berjalan lancar. Tak ada larangan walau Manajemen Iwan Fals sempat memundurkan beberapa jadwal konser karena ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Agustus lalu. Alasannya, tenaga polisi dikerahkan mengatasi massa politik.<br /><br />Iwan Fals bukan saja tampil di kota besar macam Jakarta dan Surabaya, tapi juga kota menengah macam Cilegon, Sukabumi, Kuningan, Bandar Lampung, Magelang, Mataram, dan sebagainya. Dari laporan suratkabar, jumlah penonton berkisar 5.000 hingga 15.000 orang. Tak sebesar konser Kantata Takwa dengan 100 ribu penonton tapi harus diingat bahwa konser kali ini jumlah kotanya benar-benar banyak.<br /><br />Menurut Sendjaja Widjaja, hingga 25 Agustus lalu kaset Suara Hati sudah terjual 160 ribu. Ini lumayan untuk ukuran Musica walau belum selaris band remaja Sheila on 7 dari PT Sony Music Indonesia yang penjualan album tunggalnya bisa tembus satu juta keping.<br /><br />Menurut Sendjaja, penjualan album Fals paling laris adalah Tembang Cinta (1993) sebanyak 535 ribu dan Best of the Best Iwan Fals sebanyak 466 ribu. Keduanya album kompilasi atau campuran. Best of the Best diedarkan tahun 2000 dan sampai sekarang masih termasuk album-album terlaris Musica.<br /><br />Endi Aras mengatakan lagu Hadapi Saja disukai Iwan. Album ini mengingatkan pendengar pada kematian Galang Rambu Anarki. Ini juga mengingatkan saya pada penghormatan Eric Clapton kepada anaknya, Conor, dengan lagu Tears in Heaven. Conor masih berumur 4,5 tahun ketika jatuh dari lantai 56 apartemen Clapton di New York pada 1991. Clapton juga tertekan karena kematian Conor.<br /><br />Aransemen Hadapi Saja meyayat hati. Permainan biolanya mengalun. Liriknya juga kuat. Saya kira kematian anak-anak mereka jadi dorongan besar bagi Clapton dan Fals untuk menciptakan karya yang ekspresif.<br /><br />relakan yang terjadi dia takkan kembali<br />ia sudah jadi milik-Nya bukan milik kita lagi<br />tak perlu menangis<br />tak perlu bersedih<br />tak perlu sedu sedan itu<br />hadapi saja<br />hilang memang hilang<br />wajahnya terus terbayang<br />jumpa di mimpi<br />kau ajak aku untuk menari, bernyanyi<br />bersama bidadari, malaikat, dan penghuni surga<br /><br />Endi Aras juga cerita proses pembuatan lagu 15 Juli 1996. Pada 15 Juli 1996 Endi menemani Iwan Fals pergi ke tempat Megawati Soekarnoputri, ketua Partai Demokrasi Indonesia, yang kedudukannya sedang digoyang tukang pukul dan centeng Soeharto. Iwan tak bertemu Megawati, hanya lihat dari jauh, tapi simpatinya muncul. Dua minggu setelah kedatangan Iwan, para tukang pukul itu menyerbu markas Megawati, menggusur para pendukung Megawati dengan kekerasan, dan memicu pergolakan Jakarta yang dikenang sebagai Peristiwa 27 Juli 1996.<br /><br />Tapi kritik dari masalah rokok masih muncul. Kritik ini kali ini bukan datang dari Rendra, namun dari Santi W.E. Soekanto, wartawan The Jakarta Post, yang menulis bahwa sponsor utama Iwan Fals adalah rokok A Mild dari Sampoerna. “Inilah hal yang sama sekali tak dibutuhkan Indonesia: pahlawan yang memperkenalkan ‘pintu masuk’ pemakaian narkotika dan obat-obatan keras.”<br /><br />Soekanto mengutip data World Health Organization yang mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia. Jumlah ini akan meningkat hingga 1,6 miliar pada 2025. Di negara-negara kaya, jumlah perokok menurun, tapi jumlahnya meningkat di negara-negara miskin. Indonesia negara miskin bukan?<br /><br />Departemen Kesehatan melaporkan 6,5 juta orang Indonesia tiap tahun terkena penyakit akibat kebiasaan merokok dan 57 ribu di antaranya meninggal dunia (kebanyakan laki-laki). Kebiasaan merokok membuat pemerintah kehilangan banyak sumber daya karena membiayai kerusakan-kerusakan akibat rokok.<br /><br />Di negara-negara kaya kampanye antirokok berjalan kencang. Federation of Football Association (FIFA) November lalu menandatangani perjanjian dengan WHO melarang sponsor rokok di lapangan sepak bola. FIFA sengaja menyamakan pembukaan Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang 31 Mei lalu dengan hari antirokok sedunia. MTV mendukung kampanye antirokok dengan memasang iklan para penyanyi yang menganjurkan remaja tak merokok. Di Amerika Serikat para penyanyi besar mendukung kampanye antirokok.<br /><br />Industri rokok melawan kampanye ini lewat iklan dan promosi besar-besaran, terutama di negara-negara berkembang, baik lewat sponsor olahraga maupun musik. Iklan mereka menipu para remaja dengan kesan palsu bahwa rokok membuat mereka terlihat gagah dan dewasa. Rokok diidentikkan dengan olahragawan dan musisi ternama.<br /><br />Ini dilawan. WHO di Indonesia memilih juara tenis Angelique Widjaja, binaragawan Ade Rai, dan peragawati Tracy Trinita untuk mendukung kampanye antirokok. “Sayangnya, tak terlalu banyak anak muda yang melihat Angie, Ade, atau Tracy. Para aktivis antirokok memerlukan senjata yang lebih besar. Seseorang dengan kaliber Iwan Fals,” kata Santi Soekanto.<br /><br />Kolom ini mengingatkan saya pada diskusi Salatiga 12 tahun lalu. Dalam 12 tahun ini Iwan melihat Galang ikut-ikutan papanya merokok lantas mencoba obat-obatan hingga meninggal. Kehidupan pribadi Iwan memang berubah banyak. Titin Fatimah, sekretaris Manajemen Iwan Fals, mengatakan pada saya ketika ia mulai bekerja tiga tahun lalu, Iwan Fals sudah tak merokok.<br /><br />“Suatu kenyataan hanya rokok yang bisa mengeluarkan dana cukup besar untuk pertunjukan musik. Dulu kalau pertunjukan indoor, banyak penonton yang tak bisa nonton. Kami memutuskan outdoor dan biaya produksinya besar. Hanya rokok yang bisa membiayainya,” kata Yos Rosana.<br /><br />Fals sempat bilang dia mungkin bisa merokok lagi dengan tur sponsor rokok. Yos mengatakan lebih baik tidak tur bila Iwan Fals kembali merokok. “Mendingan nggak usah main,” kata Yos. “Saya juga nggak suka rokok itu. Saya tahu itu ndak baik. Ini buah simalakama,” kata Yos.<br /><br />Henny Susanto dari Sampoerna, menerangkan kepada saya bahwa A Mild menghormati kontrak itu. Mereka mensponsori Iwan Fals karena penggemar Fals “sangat sesuai” dengan pangsa pasar A Mild.<br /><br />Penjelasan Titin, Yos, dan Henny Susanto senada dengan materi diskusi Salatiga. Rokok dianggap menganggu estetika tapi bukan kesehatan. Saya sulit menyalahkan Iwan kalau ia belum berani menolak sponsor rokok karena kontribusinya sangat besar. Tanpa rokok mungkin tak ada konser.<br /><br />Apa yang didapat Sampoerna? Henny Susanto menjawab, “Kesempatan untuk berkomunikasi dengan target market, baik yang datang ke pertunjukan maupun yang sekedar melihat publikasi yang kita lakukan.”<br /><br />Kalau saya boleh menterjemahkan kata-kata Henny Susanto, A Mild merasa gembira dengan kerja sama ini. Para penggemar Iwan Fals, katakanlah orang semacam Fajar Wijaya, si pengamen bertopi merah itu, adalah pangsa pasar A Mild. Sedih juga mengetahui Iwan Fals ikut mendorong anak-anak muda merokok.<br /><br />Kehidupan bukan sesuatu yang sederhana. Kehidupan sering penuh kompromi. Senja September itu, ketika saya meninggalkan Leuwinanggung, pikiran saya penuh dengan gejolak tentang Iwan Fals. Dia dipuja, disukai, dan dianggap manusia super, tapi ia juga mungkin kesulitan memenuhi harapan orang banyak yang menganggapnya bisa mewakili dan menolong mereka.<br /><br />Artikel ini dicopy dari situs <a href="http://andreasharsono.blogspot.com/2002/10/dewa-dari-leuwinanggung.html">penulis</a> yang dipost pada 1 Oktober 2002<br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-10501144794730451302009-06-11T15:33:00.000-07:002009-06-23T09:35:34.787-07:00Iwan Fals - Dari Jalanan, Ia Bersaksi Hingga Hari Ini<div style="background: transparent url(http://i693.photobucket.com/albums/vv298/neokoder/iwanfals-2.jpg) no-repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;"><br /><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><span style="font-weight: bold;">Virgiawan Listianto</span> yang populer dengan nama <span style="font-weight: bold;">Iwan Fals </span>dikenal sebagai ‘wakil rakyat’ yang lantang menyuarakan seruan hati para wong cilik. Sepanjang karirnya selama kurang lebih 20 tahun di dunia musik ia telah terbukti memiliki kelompok penggemar khusus yang dekat dengan kemiskinan, ketidakadilan dan pengangguran. Lagu-lagunya kerap dihubungkan dengan protes-protes sosial seperti pernah terkenal lewat Oemar Bakrie (1981) dan Bento (1991).</span><br /><br /></div><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Nama besar yang disandangnya saat ini dicapainya setelah melalui jalan penuh kerikil dan berdebu di bawah hujan dan terik matahari dalam komunitas ‘pengamen jalanan’. Pria yang diberi julukan “Pahlawan Besar Asia” menurut majalah Time Asia edisi 29 April 2002 ini mengalami banyak perubahan selama enam tahun terakhir.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Kepergian anak pertamanya, Galang Rambu Anarki (almarhum), April 1997, seorang gitaris yang baru saja meluncurkan album perdananya di usia 15 tahun, membuatnya semakin menghargai posisinya sebagai seorang ayah yang harus menjaga, mendidik, dan memelihara anak-anaknya. Rasa cintanya kepada dua anaknya, Annisa Cikal Rambu Basae dan Rayya Rambu Robbani, adalah pengobar semangat di usianya yang kini sudah berkepala empat.</span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Iwan Fals yang pernah memperoleh Juara II Karate Tingkat Nasional, sempat masuk pelatnas dan melatih karate di kampusnya, STP (Sekolah Tinggi Publisistik) sehari-harinya dipanggil Tanto. Ia lahir pada 3 September 1961 di Jakarta dalam keluarga besar yang taat beragama. Dari sembilan bersaudara, empat meninggal dunia. Semenjak kecil Iwan sering diajak ibunya, Lies Haryoso, mengikuti berbagai kegiatan sosial. Kini, ibunya masih aktif mengurusi sebuah yayasan sosial miliknya yang menampung anak-anak tidak mampu dan menyantuni orang-orang jompo. Yayasan sosial `Hairun Nissa' yang didirikannya tahun 1986, kini menyantuni 213 anak dalam panti, 90 anak non panti, dan 313 orang tua jompo.</span><br /><br /><div style="text-align: left; color: rgb(51, 0, 51);"><span style="color: rgb(255, 255, 255);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Semenjak kecil Iwan sudah berjiwa sosial dan sangat perhatian kepada teman-temannya. Itu semua terbukti ketika Iwan dengan murah hati memberikan pakaian yang dia pakai dan sepatu baru yang harganya mahal kepada temannya yang membutuhkan.</span></span></div></div><div class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br /><br />Meskipun cerdas, di sekolah Iwan biasa-biasa saja karena waktunya habis untuk mengembangkan bakat seninya dalam mencipta lagu, memainkan gitar, harmonika dan piano.<br /><br />Menginjak usia 13 tahun, Iwan mulai mengamen di Bandung. Sama seperti anak SMP lainnya, Iwan suka memperhatikan teman-temannya yang sering memainkan gitar sembari nongkrong menghabiskan waktu. Tidak mau kalah dengan temannya, Iwan mulai belajar gitar sedikit demi sedikit. Suatu kali ia pernah mencoba memainkan gitar temannya, namun bukan pujian yang diterima melainkan omelan karena senar gitar itu dibuatnya putus.<br /><br />Gitar seakan-akan sudah menjadi sahabat yang tak terpisahkan bagi Iwan. Bahkan ketika ia bersekolah di KBRI, Jedah, Arab Saudi, selama 8 bulan, gitar menjadi teman penghibur di kala sepi datang menghadang. Dalam perjalanan pulang dari Jedah ketika musim haji, Iwan mendapat pengalaman yang unik. Seorang pramugari mengajarinya menyanyikan lagu Blowing in the Wind Bob Dylan dan membantu menyetem gitarnya yang fals.<br /><br />Karena ingin tampil beda dan menarik perhatian teman-temannya yang suka memainkan lagu-lagu Rolling Stones, Iwan yang juga menjadi pemain gitar di vokal grup sekolahnya SMP 5 Bandung mencoba mengarang lagu sendiri. Ia membuat lagu yang liriknya lucu, bercanda, bahkan mengutak-ngatik lagu orang. Ulahnya ini tentu membuat teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal.<br /><br />Bersama Engkos, manajernya yang berprofesi sebagai tukang bengkel sepeda motor, Iwan mulai menyanyi di berbagai acara hajatan, kawinan atau sunatan. Kesibukan barunya dengan gitar sembari mencari teman dan memperluas pergaulan membuat ia sering membolos lalu pindah sekolah. Lagu Iwan sempat direkam dan diputar di Radio 8 EH namun radio ini akhirnya dibredel.<br /><br />Waktu terus berjalan sementara lagu-lagu Iwan mulai terkenal, tidak hanya di Bandung tetapi juga di Jakarta. Karena tertarik dengan ajakan seorang produser, Iwan yang masih bersekolah di SMAK BPK Bandung, pergi ke Jakarta bersama teman-temannya dari Bandung, yakni Toto Gunarto, Helmi, Bambang Bule yang tergabung dalam kelompok Ambradul untuk masuk dapur rekaman dengan bekal uang hasil penjualan sepeda motor Iwan. Namun, penjualan album tersebut kurang sukses di pasaran.<br /><br />Setelah rekaman ini, Iwan kembali mengamen dan ikut berbagai festival. Ia sempat menjuarai festival musik country lalu mengikuti festival lagu humor. Oleh Arwah Setiawan (almarhum), lagu-lagu humor Iwan direkam dan diproduseri oleh Handoko di bawah bendera perusahaan ABC Records. Dalam rekaman ini Iwan ditemani oleh Pepeng (pembaca acara kuis Jari-jari), Krisna, dan Nana Krip. Album ini pun bernasib sama dengan album rekaman sebelumnya yang hanya dikonsumsi kalangan tertentu saja, seperti anak muda.<br /><br />Rupanya pintu kesempatan belum tertutup bagi Iwan. Setelah sempat rekaman sekitar 4-5 album, nama Iwan akhirnya melejit di tangan Musica Studio yang kemudian menghasilkan album-album karyanya, seperti Sarjana Muda, album solo perdananya, yang aransemen musiknya dimotori oleh Willy Soemantri, album 1910, album Mata Dewa, yang meledak di pasaran. Walaupun nama Iwan Fals sebagai penyanyi dan musisi semakin populer, banyak orang hanya tahu nama namun tidak kenal wajah karena Iwan baru masuk televisi setelah tahun 1987 padahal rekaman pertamanya dilakukan tahun 1979, waktu itu usianya masih 18 tahun.<br /><br />Meskipun sudah masuk dapur rekaman dan albumnya diterima oleh pasar, Iwan diam-diam masih mengamen dari rumah ke rumah, acara hajatan dan sunatan, sembari sekali-sekali di Pasar Kaget, Blok M karena ia harus menghidupi keluarganya. Ia juga sekali-sekali memanfaatkan mobil colt abu-abu miliknya untuk menarik penumpang sepulang dari studio.<br /><br />Pada awal 1982, isteri Iwan, Rosana, melahirkan anak pertama, Galang Rambu Anarki di tengah keadaan ekonomi yang sedang sulit. Meskipun demikian, Iwan tetap bersyukur dengan membuat lagu khusus berjudul Galang Rambu Anarki sama dengan nama anaknya. Selama 3 tahun selanjutnya Iwan masih mengamen. Baru tahun 1985, setelah anak keduanya lahir, Anissa Cikal Rambu Basae, Iwan memutuskan berhenti total dari mengamen.<br /><br />Di masa Orde Baru, lagu-lagu Iwan sempat dicekal dan ia dilarang melakukan pertunjukan di beberapa daerah. Pada 1984 ia mendapat masalah karena lagunya yang berjudul Mbak Tini. Lagu ini berkisah tentang Mbak Tini, seorang pelacur yang membuka warung kopi di pinggir jalan dan mempunyai suami bernama Soeharto, seorang supir truk. Oleh pihak yang berwenang waktu itu, lagu tersebut dianggap menghina presiden RI, Soeharto. Akibatnya, Iwan terancam bakal masuk penjara. Padahal, menurut Iwan, lagu tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan Soeharto dan istrinya, (mendiang) Tien Soeharto.<br /><br />Dalam mencipta lagu, Iwan mendapat inspirasi dari koran, televisi, keadaan sekitar dan alam. Saat rezim Orde Baru menghadapi detik-detik ketumbangannya, misalnya, ia membuat lagu berjudul Kamu Sudah Gila, Apa Kamu Sudah Jadi Tuhan? Sedangkan lagunya Belalang Tua diilhami oleh seekor belalang yang bergayut di selembar daun selama berhari-hari di kebun miliknya.<br /><br />Setelah album Orang Gila (1993), Iwan, yang sempat kuliah di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta) menghilang selama kurang lebih 10 tahun dari hingar bingar industri rekaman. Dalam kurun waktu itu, Iwan bergabung dengan berbagai kelompok, yakni Swami, Dalbo, Kantata Takwa, dan Kantata Samsara. Kolaborasinya itu melibatkan beberapa musisi dan budayawan ternama, seperti Setiawan Djody, Sawung Jabo, WS Rendra, dan Jocky Suryoprayogo.<br /><br />Iwan juga melakukan beberapa kerjasama di luar kelompok tersebut, di antaranya melahirkan album Anak Wayang (bersama Sawung Jabo), Terminal dan Orang Pinggiran (bersama Franky Sahilatua), serta Mata Hati (bersama Bobby Erres). Baru pada tahun 2002, Iwan mengeluarkan album berjudul Suara Hati, sebuah album comeback yang betul-betul merupakan hasil karyanya bersama grupnya.<br /><br />Pada 18 Juni 2003 yang lalu, Iwan bersama isterinya, Mbak Yos, yang juga merangkap sebagai manajernya baru saja melempar album baru di bawah bendera Musica Studio berjudul Iwan Fals: In Collaboration With, yang kebanyakan berisi lagu-lagu cinta. Dari 10 lagu, kecuali Rinduku karya Harry Roesli, lima lagu lainnya dibuat oleh pencipta-pencipta lagu muda, yaitu Pongky "Jikustik" (Aku Bukan Pilihan), Eross "Sheila on 7" (Senandung Lirih), Piyu "Padi" (Sesuatu yang Tertunda), Azis MS "Jamrud" (Ancur) dan Kikan "Cokelat" (Sudah Berlalu) sedangkan empat lagu lainnya, diambil dari album Suara Hati, yaitu Kupu-kupu Hitam Putih, Belalang Tua, Suara Hati dan Hadapi Saja yang semuanya diaransemen ulang.<br /><br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0); font-weight: bold;">Biograph:</span><br />Nama:<br /></span>Virgiawan Listanto<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Nama populer:<br /></span>Iwan Fals<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Lahir:<br /></span>Jakarta, 3 September 1961<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Ayah:<br /></span>Haryoso<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Ibu:<br /></span>Lies<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Isteri:<br /></span>Rosanna (MBak Yos)<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Anak:<br /></span>Galang Rambu Anarki (almarhum)<br />Anissa Cikal Rambu Basae<br />Rayya Rambu Robbani<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Hobi:<br /></span>Melukis<br />Sepak Bola<br />Karate<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Pendidikan:<br /></span>SMP 5 Bandung<br />SMAK BPK Bandung<br />Sekolah Tinggi Publisistik<br />Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang IKJ)<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Album:<br /></span>Serenade Kembang Pete ; Frustrasi ; Sarjana Muda (1981) ; Opini (1982) ; Sumbang ; Sugali ; Kumenanti Seorang Kekasih ; Sore Tugu Pancoran ; Ethiopia ; Aku Sayang Kamu ; Lancar Kereta Tua ; Wakil Rakyat ; 1910 ; Mata Dewa ; Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarku ; Kemesraan ; Swami I (Bento) ; Swami II (Kuda Lumping) ; Kantata Takwa ; Cikal ; Belum Ada Judul ; Hijau ; Dalbo ; Orang Gila ; Terminal ; Mata Hati ; Orang Pinggiran ; Anak Wayang ; Lagu Pemanjat ; Kantata Samsara ; Live "Peristiwa Senayan" ; Best of the Best Iwan Fals ; Suara Hati (2002) ; Iwan Fals, In Collaboration with (2003)<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Kolaborasi:<br /></span>Swami (Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, Jockie Soeryoprayogo, Totok Tewel)<br />Kantata (Iwan Fals, WS Rendra, Sawung Jabo, Setiawan Djody, Donny Fattah, Jockie Soeryoprayogo, Totok Tewel, Doddy)<br />Dalbo (Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, Jockie Soeryoprayogo, Totok Tewel)<br />Iwan Fals, In Collaboration with (2003)<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Prestasi:<br /></span>Juara adzan tingkat DKI semasih SD<br />Juara II Karate Tingkat Nasional<br />Juara IV Karate Tingkat Nasional, 1989<br />Penyanyi rekaman terbaik versi BASF 1995<br /><span style="color: rgb(255, 0, 0);">Alamat:<br /></span>Jalan Desa Leuwinanggung No.19 RT 01/RW02, Cimanggis - Depok 16956<br /> <a href="http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/i/iwan-fals/index.shtml" target="new">(Sumber)</a><br /></div><br /></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-13114041957198066762009-06-10T12:06:00.000-07:002009-06-23T09:32:35.568-07:00Arief Budiman - Pengantar Catatan Seorang Demonstran<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimxbGDqZBsk7AkL-FqPxgHRKgoXS-iCBFhkOkM4Zb5FmpjcKwv_njVgPwvCM1ivzEGaoDqNzUP_2sO4byYTZnmiztLtAH5eavkeZ_7igggaW3p4s1TbXoZsifEKX2uFciAW_b3X1gznfvC/s1600-h/buku+shg.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimxbGDqZBsk7AkL-FqPxgHRKgoXS-iCBFhkOkM4Zb5FmpjcKwv_njVgPwvCM1ivzEGaoDqNzUP_2sO4byYTZnmiztLtAH5eavkeZ_7igggaW3p4s1TbXoZsifEKX2uFciAW_b3X1gznfvC/s320/buku+shg.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345780479063613602" border="0" /></a><a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/soe-hok-gie.html"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Soe Hok Gie</span></span></a><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Sebuah Renungan</span></span><br /><br />Prof. Arief Boediman kakak Almarhum<br /><br />Ada dua hal yang membuat saya sulit untuk menulis tentang almarhum adik saya, <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/soe-hok-gie.html">Soe Hok Gie</a>. Pertama, karena terlalu banyak yang mau saya katakan, sehingga saya pasti akan kecewa kalau saya menulis tentang dia pada pengantar buku ini (Buku Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES). Kedua, karena bagaimanapun juga, saya tidak akan dapat menceritakan tentang diri adik saya secara obyektif. Saya terlalu terlibat dalam hidupnya.<br /><br />Karena itu, untuk pengantar buku ini, saya hanya ingin menceritakan suatu peristiwa yang berhubungan dengan diri almarhum, yang mempengaruhi pula hidup saya dan saya harap, hidup orang-orang lain yang membaca buku ini.</div><div class="fullpost"><div style="text-align: justify;"><br />Saya ingat, sebelum dia meninggal pada bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah ia bicarakan dengan saya. Dia berkata: <blockquote>"Akhir-akhir ini saya selalu berfikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian."</blockquote>Saya tahu, mengapa dia berkata begitu. Dia menulis kritik-kritik keras di koran-koran, bahkan kadang-kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat kaleng yang antara lain memaki-maki dia sebagai "Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang kenegrimu saja." Ibu sering gelisah dan berkata:" Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang". Terhadap Ibu dia cuma tersenyum dan berkata "Ah, Mama tidak mengerti.."<br /><br />Kemudian, dia juga jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orangtuanya tidak setuju - mereka selalu dihalang-halangi untuk bertemu. Orang tua gadis itu adalah seorang pedagang yang cukup kaya dan Hok Gie sudah beberapa kali bicara dengan dia.<br /><br />Kepada saya Hok Gie berkata:<blockquote>" Kadang-kadang, saya merasa sedih. Kalau saya bicara dengan ayahnya si...., saya merasa dia sangat menghargai saya. Bahkan dia mengagumi keberanian saya dalam tulisan-tulisan saya. Tapi kalau anaknya diminta, dia pasti menolak. Terlalu besar resikonya. Orang hanya membutuhkan keberanian saya tanpa mau terlibat dengan diri saya".</blockquote>Karena itu ketika seorang temannya dari Amerika menulis kepadanya,<blockquote> "Gie seorang intelektual bebas adalah pejuang yang sendirian. Selalu, mula-mula, kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan terlempar keluar sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian, penderitaan."</blockquote>Surat ini dia tunjukkan kepada saya. Dari wajahnya saya lihat dia seakan mau berkata "Ya, saya siap."<br /><br />Dalam suasana yang seperti inilah dia meninggalkan Jakarta untuk pergi ke puncak gunung Semeru. Pekerjaan terakhir yang ia lakukan adalah mengirim bedak dan pupur untuk wakil-wakil mahasiswa yang duduk di parlemen, dengan ucapan supaya mereka bisa berdandan dan dengan demikian akan tambah cantik dimuka penguasa. Suatu tindakan yang membuat dia tambah terpencil lagi, kali ini dengan beberapa teman-teman mahasiswa yang dulu sama-sama turun ke jalanan pada tahun 1966.<br /><br />Ketika dia tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru, dia memang ada di suatu tempat terpencil dan dingin. Hanya seorang yang mendampinginya, salah seorang sahabatnya yang sangat karib, Herman Lantang. Suasana ini juga yang ada, ketika saya berdiri menghadapi jenazahnya di tengah malam yang dingin, di rumah lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Jenazah tersebut dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat dengan tali, digantungkan pada kayu yang panjang. Kulitnya tampak kuning pucat, matanya terpejam dan dia tampak tenang. Saya berfikir:" Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu."<br /><br />Ketika jenazah dimandikan di rumah sakit Malang, pertanyaan yang muncul di dalam diri saya ialah apakah hidupnya sia-sia saja? Jawabnya saya dapatkan sebelum saya tiba kembali di Jakarta....<br /><br />Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mati pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab "Tidak, mengapa?" Dia cerita, tukang peti mati, ketika dia kesana bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie dan si tukang peti mati tampak agak terkejut.<br /><br />"Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?" dia bertanya. Teman saya meng-iyakan. Tiba-tiba si tukang peti mati menangis. Dia berusaha bertanya mengapa si tukang peti menangis, tapi yang ditanya hanya terus menangis dan hanya menjawab: "Dia orang yang berani. Sayang dia meninggal."<br /><br />Jenazah dibawa oleh pesawat terbang AURI, dari Malang mampir Yogya dan kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, kami turun dari pesawat dan duduk di lapangan rumput. Pilot yang mengemudikanpesawat tersebut duduk bersama kami. Kemudian dia bertanya, apakah benar jenazah yang dibawa adalah jenazah Soe Hok Gie. Saya membenarkan. Dia kemudian berkata: "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak kalau dia hidup."<br /><br />Saya memandang ke arah cakrawala yangmembatasi lapangan terbang dan khayalan saya mencoba menembus ruang hampa yang ada di balik awan sana. Apakah suara perlahan dari penerbang AURI ini bergema juga di ruang hampa tersebut?.<br /><br />Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon Jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk.<br /><br />Ketika orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya. Pernahkan ia membayangkan bahwa karangan tersebut akan dibaca oleh seorang penerbang AURI atau oleh seorang tukang peti mati di Malang?<br /><br />Tiba-tiba saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang masih tetap memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak," meskipun cuma di dalam hatinya.<br /><br />Saya terbangun dalam lamunan saya ketika dipanggil naik pesawat terbang. Kami akan segera berangkat lagi. Saya berdiri disamping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik "Gie, kamu tidak sendirian." Saya tidak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak yang saya katakan itu.<br /><br />Suara pesawat terbang mengaum terlalu keras<br /><br />Arief Budiman<br /><br /><br /></div>sumber: Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES<br /><br />Baca juga : <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/soe-hok-gie.html">Sejarah Singkat Soe Hok Gie</a><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-31355439299700761402009-06-10T09:12:00.000-07:002009-06-23T09:31:46.604-07:00Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiS7yMv6LeE6PFyV6Rb01afStTmoKMl3fmygqrYK4oagVdjWSry7LLSi142VE6cRkLPIrMpbiD7UDkK_1SxoYHKN5sObq3VjmKnigi85tfSmWehGpNsDBoswW9XD8-P25d_SwmV4zXDNAqT/s1600-h/Soehokgie.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 293px; height: 220px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiS7yMv6LeE6PFyV6Rb01afStTmoKMl3fmygqrYK4oagVdjWSry7LLSi142VE6cRkLPIrMpbiD7UDkK_1SxoYHKN5sObq3VjmKnigi85tfSmWehGpNsDBoswW9XD8-P25d_SwmV4zXDNAqT/s320/Soehokgie.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345743269769051330" border="0" /></a><span style="color: rgb(153, 153, 153);">Sejarah Singkat Soe Hok Gie</span><br /><div style="text-align: justify;">Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969. Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.<br />Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/arie-boediman-di-pengantar-catatan.html">Arief Budiman </a>atau <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/arie-boediman-di-pengantar-catatan.html">Soe Hok Djin</a>, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.<div class="fullpost"><br /><br />Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).<br /><br />Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).<br /><br />Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.<br /><br />Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.<br /><br />John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997). Pada tahun 2005, catatan hariannya menjadi dasar bagi film yang disutradarai Riri Riza, <span style="font-weight: bold;">Gie</span>, dengan Nicholas Saputra berperan sebagai Hok Gie.<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soe_Hok_Gie" target="new">(Sumber)</a><br /><br />Baca juga: <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/arie-boediman-di-pengantar-catatan.html">Arief Budiman - Pengantar Catatan Sang Demonstran<br /></a>-------------------------------------------------------<br /><div style="text-align: justify; font-weight: bold;">SOE HOK GIE – THE BIOGRAPH </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p></o:p><span style="font-weight: bold;">Data Pribadi</span><o:p></o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Nama lengkap<span style=""> </span>: Soe Hok Gie<br />Lahir<span style=""> </span>: Jakarta 17 Desember 1942<br />Meninggal<span style=""> </span>: Puncak Semeru 16 Desember 1969<br />Anak dari<span style=""> </span>: Soe Lie Pit (Salam Sutrawan), Penulis<br />Adik dari<span style=""> </span>: Soe Hok Djien (Arief Budiman), Dosen Universitas Kristen Satya Wacana<br />Hobi<span style=""> </span>: Naik gunung, menulis, berpetualang, berdiskusi<br />Anak ke<span style=""> </span>: Empat dari <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:city> bersaudara</p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-weight: bold;"><br />Pendidikan</span><o:p></o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify; font-style: normal; font-weight: bold;" class="MsoNormal"><span style="font-weight: normal;">SMP Strada Jakarta</span><br /><span style="font-weight: normal;"> SMA Kanisius Jakarta</span><br /><span style="font-weight: normal;"> Universitas </span><st1:country-region style="font-weight: normal;"><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region><span style="font-weight: normal;"> Fakultas Sastra</span><!-- [if !supportLineBreakNewLine] --><br /><!-- [endif] --></p><div style="text-align: justify; font-style: italic; font-weight: bold;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-weight: bold;">Peran</span><o:p></o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Pendiri MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) Universitas <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region><br />GMSOS (Gerakan Mahasiswa Sosialis)<br />Grup Diskusi Universitas <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region><br />Penulis produktif pada <st1:city><st1:place>surat</st1:place></st1:city> kabar<br />Staf redaksi Mahasiswa <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> (Surat Kabar)<br />Anggota KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>)</p><div style="text-align: justify; font-style: italic;"> </div><p style="text-align: justify; font-style: italic;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify; font-style: italic;"> </div><p style="text-align: justify; font-style: italic;" class="MsoNormal"><span style="font-weight: bold;">Buku</span><o:p></o:p></p><div style="text-align: justify; font-style: italic;"> </div><p style="text-align: justify; font-style: italic;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><div style="text-align: justify; font-style: italic;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal">Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (Skripsi Sarjana) - 1997<br />Di Bawah Lentera Merah (Dilarang beredar oleh orba) - <strong><span style="font-weight: normal;">1917-1920 </span></strong><br />Zaman Peralihan (Kumpulan essay) -<br />Catatan Seorang Demonstran (Buku Harian, LP3ES) - 1983<br />30 Tahun mengenang Soe Hok Gie (Iluni FSUI & Mapala UI)<br />Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani (John Maxwell) - 1997<br />Jejak Kampus di Jalan Alam (Badan Penerbit Mapala UI). Terdapat kisah petualangan Soe Hok Gie di alam bebas.</p><p class="MsoNormal"><span style="font-weight: bold;">Ungkapan – ungkapan Gie</span><i style=""><o:p></o:p></i></p> <p></p><blockquote><p>“Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran, karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.”</p>"Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow."<p>“Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”</p> <p>“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.”</p> <p>“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”</p> <p>“Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”</p> <p>“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”.</p> <p>“Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.”</p> <p>“Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi.”</p> <p>“Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?”</p> <p>“Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…”</p>"Kita seolah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”<!-- [if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" alt="baju-kebesaran.JPG" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:0;margin-top:0;" allowoverlap="f"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif] --><!-- [if !vml] --><br /><p>“Bagi saya <span style="font-weight: bold;">KEBENARAN</span> biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.”</p> <p>“Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>.”</p> <p>“To be a human is to be destroyed.”</p> <p>“Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.”</p> <p>“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan.”</p> <p>“I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.”</p> <p>“Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.”</p> <p>“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.”</p> <p>“Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas <st1:city><st1:place>jakarta</st1:place></st1:city> dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.”</p> <p>“Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik. “</p><p><a href="http://smallnote.multiply.com/journal/item/80" target="NEW">( SUMBER )</a><br /></p></blockquote><br /></div></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-51853011631732252832009-06-09T17:47:00.000-07:002009-06-23T09:51:42.543-07:00Dengan Fakta, Kwik Kian Gie Sudah Menang Debat Boediono<div style="text-align: justify;"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTt3_I9E5a6qh86pMkMcYlCrLvsQSXvyjAnakBThk42woRx4X_WLPLqvODrcWOK6R-AiNsKZUbFkpAWeTJtvqElcCyPTrawKpn41M_EqsmI7W66B3l4AvZI2ab415BpbQaIMNAxzSszRCT/s1600-h/kwik-kian-gie-image.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 162px; height: 214px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTt3_I9E5a6qh86pMkMcYlCrLvsQSXvyjAnakBThk42woRx4X_WLPLqvODrcWOK6R-AiNsKZUbFkpAWeTJtvqElcCyPTrawKpn41M_EqsmI7W66B3l4AvZI2ab415BpbQaIMNAxzSszRCT/s320/kwik-kian-gie-image.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345497790717443122" border="0" /></a>Tulisan Faisal Basri (FB) “Sisi Lain Pak Boed yang Saya Kenal” dan “Hantu : Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan” yang berusaha menyangkal seraya membela bahwa kebijakan Boediono tidak pernah membela kepentingan IMF di Indonesia tentu mendapat penyangkalan kembali oleh mereka yang pernah duduk bersama dengan Boediono. Tulisan FB tersebut seolah memberi sinyal bahwa “idealisme Faisal Basri” telah dibeli oleh “politik” atau dengan bahasa nakalnya “FB sudah bosan melarat”.<br />Dr. Drajad H. Wibowo, satu-satunya anggota DPR yang tidak memberi suara kepada Boediono sebagai Gubernur BI dengan perbandingan suara 45 dari 46 anggota komisi. Drajad H Wibowo paham betul adanya sumbangsih kebijakan Boediono dalam BLBI ketika ia duduk di BI, penjualan bank-bank BPPN bersama obligasi rekap, dan agenda privatisasi 48 BUMN di tahun 2004. Dan terakhir adalah Kwik Kian Gie, Kwik menantang cawapres Boediono untuk berdebat mengenai neoliberalisme dan prakteknya di Indonesia selama ini untuk membuktikan kemana komitmen ekonomi Boediono yang sebenarnya. Pernyataan Kwik untuk menantang debat dengan Boediono disambut Tim Sukses SBY-Boediono, Andi Arif (mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik – PRD) mengatakan Kwik lebih neolib daripada Boediono.<div class="fullpost"> Ia bahkan mengatakan Kwik tidak berbuat apa-apa ketika menjadi Menteri, “Alias makan gaji buta dalam bahasa kasarnya karena tidak mampu membangun kreatifitas. Kwik hanyalah bertipe birokrat ketimbang ekonom ketika memimpin Bappenas. Sebagai orang yg pernah gagal, seharusnya Kwik tidak layak berkomentar,. Ia menambahkan:<br />“Dalam definisi Kwik, justru dialah yang neolib. Di jaman Kwik menjadi ketua Bapenas hutang tak berkurang. Justru faktanya Tim ekonomi sekarang lebih mampu menurunkan hutang…”Jadi kalau Kwik ingin berdebat dengan Boediono, dari segi apapun tak ada celah bagi Kwik untuk bisa membuktikan bahwa dia lebih mengerti ekonomi jika ukurannya adalah hasil kerja ketika menjabat“. <a href="http://www.inilah.com/berita/politik/2009/05/23/109346/timsus-boediono-kwik-tak-tahu-neolib/" target="new">[sumber]</a><br /><br />Begitu juga Tim Sukses Boediono, M Chatib Basri, ia mengatkaan bahwa Kwik tidak layak berdebat karena ia melihat sepak terjang Kwik selama menduduki orang nomor satu di Bappenas, tidak ada satupun kebijakan yang pro terhadap rakyat kecil. “Jadi untuk Pak Kwik nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah selesai. Pak Kwik gimana selama di Bappenas, counter kebijakannya seperti apa. Atau jangan-jangan nggak ngerti neo liberal itu seperti apa….. “Privatisasi sebagian besar masih dimiliki negara, Pertamina, dan PLN. Jadi tidak ada argumen yang menyatakan kita serahkan semuanya kepada pasar“<a href="http://www.inilah.com/berita/politik/2009/05/23/109346/timsus-boediono-kwik-tak-tahu-neolib/" target="new">[sumber]</a><br /><br />[update]<br /><br />Begitu juga pernyataan Rizal Mallarangeng (juru bicara tim sukses pasangan SBY-Boediono) pada 26 Mei 2009 “Itu kan Kwik lagi bingung antara neolib atau Neozep (obat sakit kepala). Kwik lagi pusing saja, jadi berkunang-kunang harusnya kan minum Neozep, tetapi kok ngomong-nya neolib,” <a href="http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/05/26/20005370/Rizal.Kwik.Sakit.Kepala" target="new">[kompas]</a><br /><br />**********<br />Oke, saya akan berusaha menjawab pernyataan mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik dan Ekonom M Chatib Basri dan mantan capres independen Rizal Mallarangeng [abangnya Andi Mallarangen]. Mari kita flash back era tahun 1990-an, kemudian tahun 1998, lalu tahun 2000-an, 2002 dan kemudian 2004 dimana Kwik terlibat banyak hal. Sebelum menjadi menteri, Kwik sudah berkiprah dalam dunia tulis menulis di harian Kompas. Di era Gus Dur ia menjadi Menko Ekuin dan selalu memberi bargaining dalam setiap keputusan dengan IMF serta bertahap melepas dikte IMF dengan enggan menekan kontrak LoI IMF. Prinsip ekonomi yang tidak ingin bergantung dengan asing menyebabkan rumor negatif berkembang dirinya, dan akhirnya ia terpaksa mengundurkan diri dari kabinet Gus Dur.<br /><br />Setelah Megawati menjadi Presiden, Kwik dipercayai mengemban tugas sebagai kepala Bappenas. Prinsip ideologi nasionalisme yang melekat terhadap dirinya untuk membangun bangsa yang berdirikari menyebabkan ia selalu “dijauhi” dengan tim ekonomi era Megawati. Dan salah satu fakta realita yang menjadi pertanyaan besar bagi Mantan Ketum PRD dan M. Chatib Basri adalah penjualan saham-saham Bank BPPN yang menyebakan kerugian ratusan triliun bagi rakyat Indonesia serta menguntungkan ratusan triliun bagi para pemegang saham baru, obligor, bankir dan kapitalis asing.<br /><br />Kwik Kian Gie<br /><br /><br />**********<br /><br />Tulisan mengenai penjualan saham bank BPPN serta utang swasta yang disulap menjadi utang negara (utang najis) sudah saya tulis di Presiden Mega dan SBY : Pembuat & Pembayar Utang Najis dan Utang Najis : Belajarlah dari Argentina!. Penjualan saham 51% saham BCA pada 14 Maret 2002 serta saham-saham bank-bank BPPN lain seperti Niaga, Permata, Danamon, Lippo, telah menyebabkan kerugian yang sangat besar.<br /><br />Berikut kesaksian Kwik dihadapan Panja BLBI [berita 27 Sept 2007] yang dibentuk DPR untuk mencari klarifikasi penyelesaian BLBI dan salah satunya adalah masalah penjualan saham di tahun 2002. Dalam RDP tersebut, undangan yang hadir hanyalah Kwiek Kian Gie dan Rizal Ramli yang pernah menjabat menjadi Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian. Sementara 3 orang lain yang diundang yaitu Boediono, Bambang Subiyanto dan Dorodjatun Kuntjorojakti tidak hadir dengan alasan berhalangan.<br /><blockquote><br />“Satu hari sebelum BCA dijual [13 Maret 2002] ada sidang kabinet yang dipimpin Megawati (Presiden) sama sekali tidak membicarakan penjualan BCA, tidak ada di agendanya. Tapi setelah sidang kabinet selesai jam 12 adalah Bapak Jusuf Kalla yang sebagai orang yang mengetahui ekonomi dan perdagangan dengan inisiatif mengumumkan, saudara-saudara urusan penjualan BCA merupakan urusan yang penting oleh karena itu saya sarankan supaya para menteri ini pulang makan dan jam 3 kumpul lagi Depkes, khusus mengenai masalah ini supaya tidak diketahui wartawan. Terjadilah diskusi, dan tentu terjadi perdebatan 1 lawan semua, saya tidak setuju bahwa BCA dijual besok dengan harga 5 triliun untuk 51 persen saham, di dalamnya ada tagihan pemerintah 60 triliun“.<br /><br />“Argumentasi saya ditentang oleh semua yang hadir, termasuk Boediono sebagai Menkeu, Dorodjatun sebagai Menko Perekonomian, SBY sebagai Menkopolkam, Jusuf Kalla Menko Kesra. Jam 6 kita belum selesai rapat, Dorodjatun bilang akhiri. Laksamana (Menneg BUMN) bersama-sama dengan dia ke Megawati bilang bahwa BCA bisa dijual, saya tidak bisa mengendalikan emosi saya, dan marah mengatakan kalian bagaimana dan yang menenteramkan saya SBY, jadi yang menyetujui adalah Megawati dan ini menjadi saksi hidup sampai duduk di dalam kabinet,” paparnya. <a href="http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/27/time/185233/idnews/835294/idkanal/4" target="new">[detikfinance]</a></blockquote><br /><br />Catatan : Kwik menyampaikan ini pada tahun 2007, 2 tahun sebelum deklarasi SBY-Boediono. Dan kita bisa melihat siapa yang tetap konsisten. Dan Kwik Kian Gie diteror ketika memberi pengakuan kembali hal ini dalam Today Dialogue Mei 2008 <a href="http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/05/15/1/109576/diteror-kwik-kian-gie-lapor-polisi" target="new">[sumber]</a><br /><br />**********<br /><br />Tiga menteri itu menyetujui agar BCA segera dijual sementara Kwik tidak setuju. Alasan Kwik kalau BCA harus dijual, maka obligasi rekap pemerintah di BCA harus terlebih dulu dikeluarkan. Hal itu penting, karena dalam pandangan Kwik, semua obligasi itu hanya digunakan sebagai instrumen bukan obligasi yang sebenarnya. Obligasi rekap adalah salah satu klausul letter of intent yang disodorkan oleh Dana Moneter Internasional, IMF kepada Indonesia.<br /><br />Jelas Kwik sebagai menteri tidak menyetujui penjualan saham-saham BPPN seperti BCA yang merugikan negara hingga ratusan triliun, transaksi yang akan menyengsarakan rakyat hingg saat ini. Bagaimana mungkin para menteri yang dianggap pro-rakyat bisa menyetujui penjualan 51% saham BCA ke Farallon Capital Partners (total 97%) yang merugikan negara paling sedikit 50 triliun? Bayangkan, pemerintah menjual 51% saham BCA seharga Rp 5 triliun yang di dalamnya terdapat Obligasi rekap atau surat utang pemerintah sebesar Rp 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp 10 trilyun untuk 100% saham. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja.<br /><br />Seharusnya, bank-bank pesakit di masa krisis 97-98 mendapat obligasi rekap sementara, dan bila banknya sudah sehat, obligasi pemerintah bisa ditarik kembali. Namun rupanya setelah bank-bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak bank-bank yang sudah sehat itu termasuk BCA harus dijual bersama obligasinya. Penjualan saham yang merugikan negara ini terjadi tanpa sepengetahuan Kwik. Kwi baru tahu keesokan harinya, ketika mayoritas saham BCA telah dijual kepada Farallon seharga Rp 1.775 per lembar saham atau total Rp 5,3 triliun meski di dalamnya terdapat tagihan pemerintah Rp 60 trilun. Melalui penjualan 51% saham BCA dan begitu juga Bank BPPN lainnya, berarti para menteri ini secara langsung telah membuat utang swasta (dalam obligasi rekap) menjadi utang negara. Itulah yang harusnya Andi Arif mengerti mengapa utang negara pada saat itu meningkat pesat??<br /><br />Dan pada tanggal 14 Maret 2002, Kwik secara lugas tetap menolak perampokan uang rakyat dalam penjualan saham BCA bersama obligasi rekap yang disetujui oleh seluruh menteri yang ikut rapat pada 13 Maret 2002.<br /><br /><blockquote>Meski sudah tahu penjualan saham BCA tak bisa dihalangi lagi, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie menegaskan sekali lagi, ketidaksetujuannya tentang divestasi bank BCA, jika obligasi pemerintah yang melekat pada bank tersebut belum dikeluarkan.<br /><br />“Bukan hanya divestasi BCA saja, tapi juga bank-bank lainnya,” kata Kwik usai sidang kabinet terbatas di Gedung Utama Sekretariat Negara Jakarta, siang ini. Kwik mengatakan, sejak dulu selalu menolak divestasi saham pemerintah yang ada di bank-bank sebelum obligasi yang ada di bank bersangkutan dibersihkan.</blockquote><br /><br />**********<br /><br />Saya tidak akan mengupas lebih jauh mengenai BLBI atau privatisasi antara Kwik Kian Gie dan Boediono. Bagaimana Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu memiliki agenda luar biasa dalam privatisasi yang menjadi harapan besar bagi para agen neolib, IMF atau WordBank. Pada 28 April 2004, di depan Komisi IX DPR-RI, Boediono mengajukan usulan agar pada tahun 2004 ini dilakukan privatisasi 28 BUMN untuk dijual dan tujuh diantaranya diminta diprioritaskan pada tahun itu juga. Ketujuh BUMN itu adalah Bank Mandiri, BNI, Tambang Timah, Aneka Tambang, Tambang Batubara Bukit Asam, PTPN III, dan PT Merpati Nusantara Airlines. Ambisi menjual BUMN Boediono kandas oleh para anggota DPR.<br /><br />Tidak hanya di era Megawati, di era Pemerintah SBY, Menko Ekonomi Boediono yang masuk dalam tim inti ekonomi mengagendakan pemerintah SBY-JK menprivatisasi 44 BUMN di tahun 2008. Jika tidak ada tokoh nasional dan politik yang membendung penjualan 44 BUMN yang sebagiannya adalah BUMN Strategis, maka ini akan menjadi agenda privatisasi terbesar sepanjangan sejarah Indonesia. Seharusnya, M Chatib Basri mendokumentasi agenda-agenda privatisasi Boediono ini yang ditentang oleh para tokoh nasional? Meskipun pada akhirnya hanya sedikit BUMN yang berhasil dijual, namun kita harus lihat agenda-nya yang ditentang oleh khalayak ramai? Mungkin Bung Chatib Basri masih ingat bagaimana Krakatau Steel mau dijual, namun akhirnya kandas?<br /><br />Dari fakta realita diatas, maka seharusnya Tim Sukses Boediono M Chatib Basri atau Tim Sukses SBY-Boediono Andi Arif atau Rizal Malaranggeng Faisal Basri menjawab dulu, apakah mereka yang mendukung penjualan 51% saham BCA merupakan kebijakan pro-rakyat? Dan apakah mereka yang menolak penjualan BCA bersama Obligasi rekap adalah orang yang berpaham neo-lib? Sebagai orang partai ataupun ahli hitung menghitung, sangatlah ganjil bahwa menjual 51% saham berobligasi rekap 58 triliun hanya senilai 5.3 Triliun. Dan perjuangan Kwik menolak penjualan saham 51% saham BCA yang merugikan negara dikatakan menerima gaji buta dan neolib? Sedangkan mereka yang mendukung penjualan 51% saham BCA yang merugikan negara justru orang pro-rakyat? Rakyat yang mana pak?<br /><br />Tahukah bahwa dengan menjual 51% saham BCA bersama obligasi rekapnya, maka secara sah para pejabat negara menjadikan utang para bankir/obligor/kapitalis menjadi utang negara? Mengapa utang najis ini harus dibayar oleh rakyat miskin? Mari kita timang-timang, siapa yang lebih pro-rakyat dan mana yang lebih mementingkan kepentingan asing? Dari nama-nama diatas, maka siapakah diantara Kwik Kian Gie, Boediono, JK, SBY, Megawati, Dorodjatun, Laksamana Sukardi yang paling pro-rakyat hingga paling pro-kepentingan IMF/asing?<br /><br />Justru saya akan membalik pernyataan ekonom M Chatib Basri “Jadi untuk Pak Boediono nggak perlu berhari-hari karena dari awal sudah selesai. Pak Boediono gimana selama di Menkeu, kebijakannya seperti apa. Fakta dan realitas berbicara. Atau jangan-jangan Pak Chatib nggak ngerti penjualan 51% BCA itu seperti apa dan tidak tahu bahwa negara dirugikan triliunan rupiah”. Dan yang pastinya, kebijakan Tim Ekonomi baik di era Mega maupun SBY dalam menangani utang najis, IMF, privatisasi jauh berbeda dengan seorang Néstor Kirchner, Sang Presiden Argentina.<br /><br />Salam Perubahan,<br />ech-nusantaraku, 26 Mei 2009<br /><br /><br />Postingan ini diambil dengan ijin dari link sahabat <a href="http://nusantaranews.wordpress.com/" target="new">Nusantaraku</a><br />Untuk membaca postingan lengkapnya, Anda bisa baca <a href="http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/26/secara-fakta-kwik-kian-gie-sudah-menang-debat-boediono/" target="new">disini</a>.<br />Baca juga <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/sejarah-singkat-kwik-kian-gie-kwik-kian.html">Kwik Kian Gie - Sang Nasionalis</a><br /></div><div style="text-align: justify;"></div></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5316567260247456264.post-92037558578655777422009-06-09T13:33:00.001-07:002009-06-23T09:53:58.775-07:00Kwik Kian Gie - Sang Nasionalis<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjryf_kf_vyxbabEkoc5fKA53uMBJT_xMjY8Mj0jmoqZNgACdl_yuqdHI93UghGNsXf1SYxkGLHjyYyqCnSTAUOLPH9bg_sGTwg4Gi0A65FPYcYSXlsCsKt8rufa5CM5LI00Ni9MzUXbqA1/s1600-h/0608kwik.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 120px; height: 153px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjryf_kf_vyxbabEkoc5fKA53uMBJT_xMjY8Mj0jmoqZNgACdl_yuqdHI93UghGNsXf1SYxkGLHjyYyqCnSTAUOLPH9bg_sGTwg4Gi0A65FPYcYSXlsCsKt8rufa5CM5LI00Ni9MzUXbqA1/s320/0608kwik.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345431114046100594" border="0" /></a><span style="color: rgb(204, 204, 204);font-size:130%;" >Sejarah Singkat Kwik Kian Gie</span><br /><div style="text-align: justify;"><br />Kwik Kian Gie (74 tahun) atau 郭建義 (mandarin: Guo Jianyi) merupakan pria keturunan Tionghoa yang lahir di Pati - Jawa Tengah, 11 Januari 1935. Ia seorang ahli ekonomi sekaligus politikus yang sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Keteguhan pada nilai-nilai kebenaran dan nasionalisme serta selalu mengkritik hal yang salah, membuat Kwik Kian Gie tidak disukai mereka-mereka yang ’salah langkah’.<br />Setelah menamatkan pendidikan SMA-nya, Kwik melanjutkan studinya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia selama setahun untuk tingkat persiapan. Kemudian tahun 1956, Kwik melanjutkan studi Nederlandsche Economiche Hogeschool, Rotterdam Belanda(1956-1963). Jiwa pengabdiannya pada negeri ini telah diwujudkan sesaat setelah Kwik lulus dari kuliahnya. Tahun 1963-1964 Kwik bekerja sebagai asisten atase kebudayaan dan penerangan pada Kedutaan Besar RI di Den Haag. Setahun kemudian menjadi Direktur Nederlands Indonesische Geoderen Associatie (1964-1965). Lima tahun selanjutnya menjadi Direktur NV handelsonderneming “Ipilo Amsterdam”.<br /><div class="fullpost"><br /><br />Tahun 1970, di usianya ke-35, Kwik kembali ke tanah air. Selama setahun ia sempat menganggur. Dan di tahun 1971, Kwik terjun ke dunia bisnis dan mendirikan PT Indonesian Financing & Investment Company. Kepiawaianya dalam ekonomi bisnis, mendapat kepercayaan berbagai perusahaan memintanya menjadi pimpinan perusahaan. Pada tahun 1978, tercatat ada minimal 3 perusahaan yang dipimpin Kwik yakni sebagai Direktur sekaligus Pemegang saham PT Altron Panorama Electronic, Dirut PT Jasa Dharma Utama, dan Komisaris PT Cengkih Zanzibar.<br /><br />Mulai tahun 1985 (24 tahun silam), Kwik telah menulis ide kreatif mengenai ekonomi di Harian Kompas demi mengedukasi persfektif masyarakat. Setelah cukup mapan (sudah kaya), pada usia 42 tahun Kwik resmi terjun ke dunia pendidikan dan pengamat ekonomi. Secara bertahap Kwik mulia meninggalkan dunia bisnis. Di bidang pendidikan, tahun 1987 bersama Djoenaedi Joesoef dari Konimex dan Kaharudin Ongko dari Bank Umum Nasional, Kwik mendirikan Institut Bisnis Indonesia (IBiI). Kwik pun dipercayai menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur sejak pendiriannya.<br /><br />Petualangan sebagai pengamat ekonomi Indonesia yang melihat dan mengamati langsung sistem pemerintah yang begitu korup dan sarat KKN serta otoriter di era Soeharto ‘memaksa’ Kwik harus terjun ke dunia politik. Berbekal pengalaman dan tulisan-tulisan beliau yang sangat populer di Kompas, Kwik terjun ke dunia politik bukan karena uang, melainkan ingin merubah Indonesia yang lebih baik. Ia rela melepas dunia bisnisnya : “Saya sudah punya cukup uang untuk membiayai semua yang saya inginkan,” katanya suatu kali kepada Matra. Kondisi ini sangatlah ironis dengan maraknya para politisi baru saat ini yang menjadi caleg/pilkada hanya lebih untuk meraup uang negara dan meningkatkan prestise. Kwik terjun ke dunia politik setelah dirinya mapan, dan ia konsisten memperjuangkan ilmunya (ekonomi dan pendidikan) untuk bangsa Indonesia…. Kembali sangat ironis…saat ini banyak yang menjadi caleg dengan hanya berlatar belakang ‘popularitas tampang/wajah’.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sumbangsih Politik Kwik</span><br /><br />Perjuangan politik Kwik dimulai dengan bergabung dengan PDI pro Megawati [hanya ada Golkar yang berkuasa, PPP dan PDI]. Meskipun terjun ke dunia politik, namun Kwik konsisten dengan ilmu, sikap dan pengalamannya. Di PDI, Kwik menjabat sebagai salah satu Ketua DPP sekaligus tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDI. Meskipun kemudian Mega disingkirkan oleh pemerintah dari PDI pada Juni 1996, ia tetap konsisten membela dan mendukung Mega. Menurut Kwik, kemanusiaan Mega sangat tinggi. “Kemanusiaannya besar sekali, sehingga Mega tidak bisa melihat darah mengalir, kerusuhan atau kematian. Dia terus menerus berpesan agar anggota PDI menjaga diri dan menghindari kerusuhan,” katanya suatu kali.<br /><br />Ia menambahkan, bahwa Mega itu manusia yang mirip Bung Karno, “dan logisnya luar biasa“. Ia hidup untuk melayani orang lain. Itu tak lain karena Mega dilahirkan dalam keadaan untuk melayani orang lain. “Jadi kalau dia peduli terhadap kehidupan bangsa ini, itu bukan dibuat-buat, bukan agar dia menjadi orang berpangkat atau orang penting,” tambah Kwik. Rasa sikap hormat Kwik pada Mega ketika itu memang wajar, karena dia berhubungan dan bertukar pikiran langsung dengan Megawati. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak mengatakan bahwa Megawati mempunyai segala kwalitas sebagai Presiden R.I., tetapi jelas mempunyai banyak kwalitas yang krusial sebagai panutan. [estetic quotient]<br /><br />Apa itu? Moral yang tinggi, integritas yang tinggi, tidak munafik, berani membela kebenaran, keadilan dan demokrasi tanpa memikirkan sedikitpun apa resiko untuk dirinya. [petualangan Kwik bersama PDI hingga kasus 27 Juli 96 ]. Mengapa saya mengatakan bahwa sifat-sifat dan karakter seperti ini adalah krusial untuk dijadikan panutan? Karena semua malapetaka yang sedang kita hadapi kalau ditelusuri sampai pada akar-akarnya, penyebabnya adalah moralitas yang rendah, tiadanya integritas, berkecamuknya KKN, kepalsuan, kemunafikan dan kepura-puraan.<br /><br />Keteguhan Kwik pada Mega yang tersingkirkan oleh pemerintah, akhirnya berbuah manis. Setelah era orba jatuh dan dibarengin lahirnya reformasi, Megawati bersama PDI Perjuangan memenangi Pemilu 1999. Selama setahun kwik menjadi Anggota MPR/DPR-RI sekaligus menjadi Wakil Ketua MPR-RI. Gus Dur pun lihai melihat talenta dan semangat Kwik, maka iapun diangkat menjadi Menko Ekuin (1999-2000). Meskipun suara ‘kata reformasi’ berkumandang keras di negeri ini, namun masih banyak anggota Kabinet dan oknum pemerintah pada saat itu yang masih bermental kompeni, bermental asing, bermental korporasi, bermental korupsi,dan tentu saja Kwik sangat menentang itu. Apa daya mau dikata, hasrat Kwik untuk membersihkan kabinet kotor akhirnya diserang oleh orang-orang yang merasa kepentingannya terganggu. Maka berbagai isu miring dilontarkan pada pribadi Kwik. Dan berbagai desakan politik busuk saat itu dan diiringi tudingan miring, akhirnya Gus Dur terpaksa memberhentikan Kwik sebagai Menko Ekuin. Dengan dilematis, Kwik mengundurkan diri dari Menko Ekuin pada tahun 2000.<br /><br />Ketika terjadi pergolakan politik antara MPR (Amien Rais) dan Presiden (Gusdur) yang berakhirnya berhentinya Gus Dur dari kursi Presiden dan diangkatnya Megawati sebagai Presiden ke-5 RI, Kwik kembali diangkat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Men. PPN) merangkap Ketua Bappenas pada Kabinet Gotong-Royong (2001-2004).<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Pergulatan Politik</span><br /><br />Meskipun Kwik Kian Gie sudah ‘nyaman’ dalam posisi eksekuitf tinggi di negeri ini sebagai Menko Ekuin, Men. PPN serta Kepala Bappenas, Kwik tidak berhenti mengambil keputusan saja sebagai menteri. Ia masih bersikap sebagai pengamat yakni sering melontar pendapat yang berbeda dari kebijaksanaan yang diputuskan kabinet atau pemerintah. Ketika suaranya tidak didengar di Kabinet atau tidak diundang pada sidang Kabinet yang penting, Kwik tidak segan-segan menegur dan mengkritisi menteri seposisinya bahkan seorang atasannya, Presiden Megawati. Tidaklah heran jika sekelompok menteri, segrup pengusaha, segerombolan negara kapitalis benci sama pendirian Kwik.<br /><br />Akibatnya, tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong yang pada mulanya disebut The Dream Team itu menjadi terkesan amburadul. Tidak ada kordinasi. Ada yang berpendapat bahwa Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro Jakti tidak mampu memimpin timnya. Tapi sebagian lagi menyatakan bahwa Kwik lebih baik mengundurkan diri dan kembali kehabitatnya sebagai pengamat. Kegaduhan tim ekonomi ini dimanfaatkan pula oleh kalangan politisi dan aktivis politik sebagai pintu masuk menyoroti lemahnya kepemimpinan Presiden Megawati. Ada juga yang memanfatkannya dengan menyarankan dilakukannya reshuffle kabinet sesegera mungkin.<br /><br />Tapi Megawati tampaknya telah belajar dari ringan tangannya Gus Dur mengganti menterinya. Sehingga selamatlah Kwik dan tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong lainnya dari pemberhentian. Kwik sendiri sudah mengalami pergantian dengan ‘dipaksa’ mundurnya dia dari jabatan Menko Ekuin oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ia ‘dipaksa’ mundur setelah ia dibuat frustrasi seperti ditulis Suara Pembaruan edisi Jumat (11/8 ) mengutip sumbernya, “Pak Kwik sering tidak tahan menghadapi ulah para menteri, utamanya yang dekat dengan Presiden, karena mereka tidak pernah mau datang ke rapat-rapat koordinasi.” Mereka juga menilai bahwa Kwik lebih pas sebagai pengamat ketimbang jadi eksekutif, pengambil keputusan. Hal yang sama hampir saja terjadi jika Kwik bukan kader PDIP dan jika Presiden Megawati menuruti keinginan para politisi dan pengamat. Hari ini mungkin Kwik tidak lagi sebagai eksekutif tapi sudah berkonsentrasi sebagai pengamat, dunia yang sangat dijiwainya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kwik Kian Gie yang Tidak Lupa Diri</span><br /><br />Meskipun Kwik menjabat Menteri di Kabinet Megawati, hal ini tidak membuat Kwik hanya menikmati jabatannya. Pada tanggal 7-8 November 2001, Pak Kwik menyampaikan pidato yang sangat menusuk bagi CGI maupun pejabat-pejabat saat ini maupun tempo dulu. Sebagai Men. PPN dan kepala Bappenas, pidato Kwik mempunyai makna yang besar bagi bagi penyelenggaraan negara dan perekonomian kita, terutama bagi kehidupan moral bangsa kita, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dewasa ini.<br /><br />Dalam pembukaan pidatonya yang berjudul “Effective use of foreign aid” itu, ia menyatakan rasa malunya bahwa sebagai pejabat pemerintahnya ia terpaksa menjalankan tugas, yang pada intinya adalah untuk mengemis tentang persoalan utang, atas nama bangsa. Pernyataan Kwik sekaligus menyentil lembaga keuangan dunia yang selama ini ‘menjerumuskan’ Indonesia dengan utang. Persoalannya sederhana, lembaga keuangan dunia tahu pasti bahwa sebagian utanngya, tidak kurang 30% dikorupsi, yang seharusnya bertentangan dengan syarat dari sebuah lembaga keuangan untuk memberikan pinjamannya. [skenario tingkat tinggi].<br /><br />Yang juga amat menarik (dan amat penting) yalah ketika ia mengungkapkan bahwa ia sudah sering mengatakan hal-hal itu semua, dan bahwa ia telah ditegur oleh para ekonomis senior, yang di masa lalu telah, dan sekarang, masih memainkan peran penting dalam pengurusan ekonomi negeri kita, yang menganjurkan supaya ia tidak lagi memandang ke belakang saja dan supaya mulai melihat ke hari depan. Tetapi, katanya, ia tidak mau mendengarkan nasehat semacam itu, apalagi yang berasal dari para ekonomis yang telah mempunyai peran besar dalam menjadikan Indonesia menjadi bangsa pengemis.<br /><br />Ekspresi yang digunakan Menteri Kwik Kian Gie adalah keras, atau tidak tanggung-tanggung!. Apalagi ketika ia mengatakan bahwa para ekonomis yang itu-itu jugalah yang telah melakukan mis-management dalam soal utang luarnegeri kita dan menggiring negeri kita ke dalam kesulitan-kesulitan kita dewasa ini. Oleh karena itu, ia berpendirian bahwa perlu sekali sering memandang ke belakang untuk mengetahui apa-apa saja yang menjadi sumber-sumber kesulitan atau sebab-sebab kesalahan itu. Adalah tidak fair dan tidak adil, katanya, bahwa mereka yang telah membikin kesalahan-kesalahan itu sekarang bisa memegang kekuasaan dan berusaha untuk menguburkan masa lalu. Mereka inilah yang menghalang-halangi orang-orang yang jujur dan memiliki kemauan baik untuk mengobati sebab dan akibat korupsi dan mis-management masa lalu, tegasnya.<br /><br />Mengenai utang dalam negeri, yang sekarang sudah mencapai Rp650 trilyun, ia mengatakan bahwa ia dikritik karena telah terlalu banyak bicara tentang akibat-akibatnya. Menurutnya, kritik-kritik itu diucapkan oleh orang-orang yang ingin menutup-nutupi dan mengubur begitu saja ketidakadilan yang terjadi di masa lalu. Kritik-kritik ini datang dari para birokrat yang itu-itu juga yang telah membolehkan para pemilik bank untuk berulangkali melanggar batas-batas legal peminjaman uang, menyalurkan jumlah-jumlah besar uang para penyimpan uang ke dalam perusahaan mereka sendiri dengan cara peminjaman yang di mark-up. Kenyataan ini terlalu menyolok.<br /><br />Tentang utang pemerintah, ungkapan Kwik Kian Gie di depan sidang internasional ini juga sangat pedas dan dengan bahasa yang polos pula ketika ia mengatakan : “Apakah utang-utang itu juga dikorupsi, sehingga kita tidak bisa membayarnya kembali, walaupun kita terus mengeduk satu lobang untuk menutupi lainnya? Bagi saya, jawabannya adalah jelas sekali. Profesor Sumitro Djoyohadikusumo, pendiri fakultas ekonomi dari Universitas Indonesia yang memiliki prestise tinggi, dan karenanya adalah guru yang amat terhormat bagi birokrat-birokrat yang berkuasa, pernah menyatakan bahwa paling sedikitnya 30% dari pinjaman yang diberikan kepada pemerintah Indonesia telah dicuri. Ini berarti bahwa paling tidak 30% pinjaman dari Anda sekalian telah dicuri”, katanya kepada para wakil negara donor dan badan-badan internasional yang hadir dalam sidang CGI itu.<br /><br />Dan selama menjadi menteri, jelas Kwik Kian Gie menolak kehadiran IMF di bumi Indonesia. Kwik Kian Gie menyentil para ekonom senior yang telah merusak ekonomi Indonesia dengan memasukkan ratusan miliar dollar utang dengan sedikitnya 30% dikorup selama lebih 32 tahun. Dan pola ini pun sempat dan masih terjadi setelah reformasi. Indonesia pengemis telah kalah dengan Malaysia yang telah lama mandiri dari Word Bank dan IMF. Dan Kwik Kian Gie kerap kali menekankan bahwa untuk mengubah Indonesia yang lebih baik, maka dibutuhkan obat sekaligus dokter-dokter yang secara serius menyembuhkan penyakit korupsi yang merajalela, utang dalam dan luarnegeri yang menumpuk, mis-management dalam penyelenggaraan perekonomian, dan kerusakan moral. Keempat hal inilah yang menyebabkan Indonesia diujung tanduk. [obat:konstitusi, dokter:pemimpin]<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Kekecewaan Kwik Kian Gie?</span><br /><br />Mungkin [berdasarkan pengamatan saya/penulis] ada banyak hal yang masih Kwik kecewa ketika menjadi menteri. Selain Kwik sangat menentang penjualan BUMN strategsi yang dilancarkan eks Men. BUMN Laksamana Sukardi bersama Kabinet Megawati (kecuali Kwik dan hanya beberapa menteri lain). Mungkin sampai saat ini Kwik masih kecewa dengan alasan Laksamana Sukardi yang mengobral BUMN dengan alasan tidak masuk akal. Terutama penjualan BCA ke Farallon.<br /><br />Satu hari sebelum penandatanganan penjualan BCA kepada Farallon terjadi sidang kabinet terbatas tidak resmi selama tiga jam. Perdebatan sangat sengit. Sebelum tuntas, pada jam 18.00 Menko Dorodjatun menghentikan rapat, mengajak Meneg BUMN Laksamana Sukardi melapor kepada Presiden Megawati bahwa penandatanganan penjualan keesokan harinya dapat dilakukan. Dalam rapat tersebut hanya Kwik Kian Gie yang menentang sangat keras. Yang lainnya menyetujui.<br /><br />Pemerintah yang masih lembek ditambah oknum-oknum menteri yang tidak bertanggung jawab menjual Bank-bank milik pemerintah Indonesia yang di dalamnya ada surat tagihan kepada pemerintah (atau dirinya sendiri) dijual dengan harga murah kepada swasta, antaranya banyak swasta asing. Contoh yang paling fenomenal tentang ketidak warasannya kebijakan pemerintah dalam bidang ini adalah penjualan BCA 97% dari BCA sudah milik pemerintah. Di dalamnya ada OR atau surat utang pemerintah sebesar Rp 60 trilyun. IMF memaksa menjualnya kepada swasta dengan harga yang ekuivalen dengan Rp 10 trilyun. Jadi BCA harus dijual dengan harga Rp 10 trilyun, dan yang memiliki BCA dengan harga itu serta merta mempunyai tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 trilyun dalam bentuk OR yang dapat dijual kepada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. (Sumber : Kwik Kian Gie : Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967 – artikel 4)) Jadi transaksi BCA oleh Laksamana Sukardi CS dibawah bisikan IMF telah merugikan negara hingga Rp 50 triliun..<br /><br />Pada tanggal 13 Maret 2002, sehari sebelum bank BCA dijual Farallon Capital Partners bersama Djarum [14 Maret 2002] , rapat kabinet yang dipimpin oleh Megawati sebenarya tidak mengagendakan penjualan BCA. Agenda rapat penjualan BCA baru muncul siang hari setelah rapat kabinet, ketika para menteri ekonomi berinisiatif mengadakan rapat terbatas di Gedung Departemen Kesehatan di Jalan Haji Rangkayo Rasuna Said, Jakarta.Di rapat itu Kwik Kian Gie yang menjadi Kepala Bappenas berdebat dengan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, Meneg BUMN Laksamana Sukardi dan Menkeu Boediono. Tiga menteri itu menyetujui agar BCA segera dijual sementara Kwik tidak setuju. Alasan Kwik kalau BCA harus dijual, maka obligasi rekap pemerintah di BCA harus terlebih dulu dikeluarkan. Hal itu penting, karena dalam pandangan Kwik, semua obligasi itu hanya digunakan sebagai instrumen bukan obligasi yang sebenarnya. Obligasi rekap adalah salah satu klausul letter of intent yang disodorkan oleh Dana Moneter Internasional, IMF kepada Indonesia. Namun rupanya setelah bank-bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, IMF mendesak bank-bank yang sudah sehat itu termasuk BCA harus dijual bersama obligasinya.<br /><br />Dampaknya adalah pada besarnya beban utang pemerintah, baik utang luar negeri maupun dalam negeri untuk tahun anggaran 2006 sebesar Rp 140,22 trilyun, yaitu beban bunga sebesar Rp 76,63 trilyun dan cicilan utang pokoknya sebesar Rp 63,59 trilyun. Jumlah ini pengeluaran terbesar setelah keseluruhan pengeluaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik rutin maupun pembangunan.<br /><br />Disamping itu, banyaknya andil yang diperankan oleh sekelompok elit yang menyetir PDIP membuat Kwik dalam acara The Candidate menanggapi dengan mengatakan, “saya sudah tidak aktif lagi di PDIP ketika ‘PDIP’ sudah berubah”. Yah….publik tahu siapa saja yang mempengaruhi PDI-P dan mempengaruhi Mega, salah satunya Mas Taufik Kiemas.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Seorang Kwik pun Tidak Ditanggapi oleh Pemerintah, apalagi Kita.</span><br /><br /><blockquote>Dalam salah satu forum diskusi di koraninternet , seorang berkomentar (inisial Dewo) dan menanyakan mengapa Kwik baru berkomentar tentang masalah-masalah bangsa, padahal sejak dulu Pak Kwik mengerti hal-hal yang mengenai solusi atas bobroknya ekonomi di tangan pemerintah.<br /><br />Kenapa baru sekarang Bapak berkomentar, padahal sudah sejak dulu Bapak mengerti masalah ini.<br />Pada saat Bapak duduk di pemerintahan mengapa tidak mambantu rakyat untuk menyelami hal ini mungkin dengan membuat tuisan2 seperti ini atau berteriak lantang kepada para pemimpin kita saat itu.<br /><br />Kalau sekarang Bapak baru mengirimkan opini kita sudah sangat terlambat karena kita sama2 orang sipil yg tidak akan pernah ada harganya di mata pemerintah.<br />Kalau memang Bapak ingin membantu kami, sudi kiranya Bapak bekerja sama dengan salah satu stasiun televisi swasta untuk meminta penjelasan dari perwakilan pemerintah atau minta disediakan spot khusus pada jam tertentu di acara televisi.<br /><br />Jadi saran saya tolong berikan sesuatu yang konkrit kepada masyarakat kita. Karena Anda adalah pakar ekonomi yg mengerti sekali dan saya anggap cerdas serta kritis.<br /><br />Terima kasih dan hormat saya,<br />Dewo (20 Jan 2009)</blockquote><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jawaban Pak Kwik (tanpa di edit) tertanggal 23 Jan 2009</span><br /><br /><blockquote>Sejak tahun 1980 saya sudah mengemukakan pendapat-pendapat seperti yang tercantum dalam artikel di KoranInternet ini tentang kebijakan BBM, dan terutama dengan apa yang dinamakan “subsidi”.<br /><br />Sejak sekitar 12 tahun yang lalu juga saya banyak menulis tentang hal yang sama dalam berbagai media massa yang jumlah artikelnya tidak kurang dari 14.<br /><br />Ketika dalam kabinet selalu mengemukakan hal yang sama dalam sidang-sidang kabinet. Karena itu, ada tekanan sangat besar pada Presiden Abdurrachman Wahid untuk memecat saya sebagai Menko EKUIN. Selama dalam Komisi IX DPR RI juga selalu saya kemukakan. Kemudian sebagai Menteri dan Kepala Bappenas yang ex officio Komisaris Pertamina ketika masih berbentuk Perum juga saya kemukakan.<br /><br />Kesemuanya tidak pernah ditanggapi. Karena itu saya sebagai Menko EKUIN minta melihat dan mempelajari semua pembukuan Pertamina dan pembukuan di Departemen Keuangan yang ada hubungannya dengan minyak dan BBM. Semuanya ditolak dengan alasan bahwa sudah merupakan tradisi yang boleh hanya Presiden dan Menteri Keuangan.<br /><br />Dalam tahun 2008, kecuali menulis sangat banyak artikel dan memberikan paparan-paparan dalam berbagai seminar juga saya kemukakan. Saya diundang oleh Panitia Angket BBM di DPR RI, dan telah memberikan kesaksian di bawah sumpah dengan pikiran-pikiran dan perhitungan-perhitungan yang sama. Dalam tahun 2008 itu juga saya diundang oleh MM Manajemen UI memberikan paparan di aula FE UI dengan pembicara-pembicara lainnya Dirut Pertamina Arie Sumarno dan Dekan FE UI, Prof. Bambang Bodjonegoro.<br /><br />Semuanya tidak dihiraukan. Kalau Anda berkenan, saya dapat memberikan bagian besar dari pikiran-pikiran tersebut kepada anda melalui e-mail.<br /><br />Banyak terima kasih.<br />Kwik Kian Gie<br /></blockquote><br /><span style="font-weight: bold;">Penutup</span><br /><br />Begitulah kisah singkat perjuangan Kwik. Saya mulai mengagumi beliau sejak akhir 2007 ketika saya membaca buku John Perkins dan melihat kesamaan pemikiran dan pergerakan yang pak Kwik tawarkan, seorang Tionghoa namun sangat nasionais dan cinta pada negeri ini. Di masa tuanya (74 tahun) ia tetap berusaha menuangkan ide-ide demi mengedukasi masyarakat agar mata saudara-saudara di negeri terbuka lebar. Hentikan pembodohan oleh aparat pemerintah. Hentikan kebijakan yang membuat masyarakat menjadi kelas nomor ke-5 setelah kepentingan pengusaha, asing, politik dan kepentingan penguasaha. Ciptakan budaya berdirikari, dan tingkatkan moralitas bangsa.<br /><br />Beberapa tulisan beliau membuat saya meneteskan air mata, karena masih ada orang tua seperti beliau yang mau berbagi ilmu pengetahuan dengan gratis. Dan saya yakin bahwa walaupun suara dan tulisan Pak Kwik tidak didengar oleh pemerintah saat ini, namun secara tidak langsung, pak Kwik telah memberikan harta karun terbesar buat saya dan buat sebagian rakyat yang merasakan ‘embun-embun’ pencerahan untuk berbakti pada negara dan rakyatnya.<br /><br />Dan satu hal yang menarik ketika Kwik tampil di The Candidate, ketika Fifi Alayda Yahya menanyakan ‘apakah Bapak akan maju sebagai Capres 2009″. Kwik dengan tegas mengatakan “Tidak“. Lalu, Fifi menanyakan kembali, ‘Apakah dalam pikiran pak Kwik terlintas ingin menjadi Presiden?”. Sekali lagi pak Kwik menjawab, “Tidak sama sekali“. Beliau hanya berharap dapat menjadi penasehat presiden (wantimpres) dalam bidang ekonomi. Bukan kekuasaan yang ia incar, namun kontribusi yang tepat sasaran. Toh….beliau memang lebih tepat menjadi penasehat ekonomi asalkan Presiden 2009 adalah presiden yang ‘benar’. Benar artinya bukan bermental kompeni, liberal-kapitalis, pengemis utang luar negeri dan dalam negeri, dan hanya menjadi bangsa penonton (Blok Cepu, UU Migas, mendewakan kedatangan Bush dengan meng-jump sinyal HP di Bogor, obral BUMN : Indosat, Telkom + 38 daftar BUMN yang akan diobral 2008-2009 ).<br /><br />Saya berharap, semoga harapan Pak Kwik ini terealisasi dan pemimpin 2009 ini adalah pemimpin yang didambakan oleh Kwik. [FYI : Kwik sendiri tidak merekomendasi Mega sebagai Capres. Kwik juga sangat mengkritisi pembingungan yang dilakukan pemerintah incumbent]. Disamping ituk, saya pun mulai menulis dan mencoba mengikuti jejak langkah beliau. Walaupun saya tidak bertemu beliau secara langsung, tetapi saya merasakan getaran nasionalis dan ketulusan beliau untuk mewujudkan Indonesia baru sesuai dengan cita-cita para founding father bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 (sebelum amandemen). Meskipun suara dan pemikiran Anda tidak ditanggapi penguasa saat ini, namun saya yakin ’suara dan pemikiran’ Bapak kini sedang bersemai di ladang pemikiran kami. Kelak benih-benih yang Pak Kwik taburkan dapat tumbuh, berkembang dan menular kepada generasi kami. Semoga Kwik-Kwik baru muncul bertebaran di negeri ini, dan penguasa akhirnya mendengar konsepsi-mu.<br />Terima kasih pak Kwik…………Lanjutkan perjuanganmu..<br /><br />echnusa, 31 Jan 2009<br /><br />Catatan<br />Disusun dari berbagai sumber:<br />www.koraninternet.com; www.tokohindonesia.com; www.id.wikipedia.org; http://kontak.club.fr<br />Milis-milis dan pendapat penulis sendiri<br />Postingan ini diambil dengan ijin dari link sahabat <a href="http://nusantaranews.wordpress.com/" target="new">Nusantaraku</a><br /><br />Postingan tentang kwik Kian Gie lainnya: <a href="http://neokoderinspirasi.blogspot.com/2009/06/tulisan-faisal-basri-fb-sisi-lain-pak.html">Dengan Fakta Kwik .......</a><br />Baca juga tentang wawancara Kwik Kian Gie dengan Warta Bisnis: <a href="http://wawancaraku.blogspot.com/2006/02/kwik-kian-gie.html" target="new">IMF digunakan juga untuk menekan Presiden</a></div></div>Unknownnoreply@blogger.com0